Ghazali Abbas: Benar dan Setuju KPK Tidak Tebang Pilih di Aceh?


Selasa, 08 Juni 2021 - 19.43 WIB



KENDATI terkasan begitu heboh ihwal pemanggilan KPK terhadap dua pejabat Aceh, di mana berita tentang hal itu ramai dibicarakan dalam masyarakat yang tercermin dari rupa-rupa ulasan dan komentar dalam media sosial. 


Tetapi menurut saya bahwa kerja KPK demikian adalah sesuatu yang normal belaka, karena memang demikianlah sejatinya wujud nyata prifesionalitas kerja KPK itu. 


Hanya benar belaka dan saya setuju dengan pernyataan salah seorang anggota DPRA sebagaimana diberitakan media massa yang meminta KPK tidak tebang pilih mengusut korupsi di Aceh, Minggu (6/06/21). 


Memang, betapa tidak tebang pilih melaksanakan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) nya adalah konsekuensi logis dari profesionalitas kerja KPK, dan apabila sebaliknya, yakni jika ada indakasi tebang pilih, berarti kinerja KPK itu amatiran, dan ini tentu tidak sesuai dengan semangat kehadiran KPK, apalagi KPK mendapat anggaran yang cukup dari negara dalam melaksanakan tupoksinya itu. 


Sama dengan aparat penegak hukum lainnya yang juga dituntut melaksanakan tupoksinya secara profesional, seperti kepolisian dan kejaksaan.


Disisi lain ada juga BPK, BPKP dan Inspektoran di semua tingkatan pemerintahan dalam NKRI yang tupoksinya itu melakukan audit berkaitan dengan kinerja dan keuangan negara yang dikelola oleh pengguna anggaran negara, baik aparatur negara maupun siapapun yang terlibat dan/atau dilibatkan dalam pengelolaan anggaran/uang yang bersumber dari pundi-pundi kas negara dengan berbagai nomenklaturnya. 


Tidak hanya kepada KPK, terhadap semua instrumen negara tersebut kita juga meminta bekerja profesional dan tidak tebang pilih (saboh bak talak saboh yup tapak) ketika melaksanakan tupoksinya.


Berdasarkan pemahaman demikian, kendati ada yang bilang, lu lagi lu lagi yang rewel ( meu pèp-pèp), dengan niat melaksanakan fardhu kifayah dalam rangka al-amru bil ma'ruf wan nahyi 'anil munkar, saya tidak pernah lupa dengan dana hibah yang bersumber dari APBA dengan nomenklatur untuk pemberdayaan ekonomi mantan kombatan GAM dengan jumlah yang sangat fantastis, yakni Rp 650 miliar, yang sampai saat ini masih misterius penyaluran, pihak yang berhak menerima, pemanfaatan dan pertanggungjawabannya.


Terhadap pihak yang diamanahkan mengelola dana hibah ini saya minta untuk ikut dipilih oleh aparat kepolisian dan kejaksaan niscaya mengusutnya sembari bersinerji dengan BPK, BPKP dan Inspektorat yang bertugas mengauditnya, apakah setiap sen dana Rp 650 miliar itu sudah dikelola sesuai dengan nomenklatur peruntukannya. 


Sekali lagi saya minta untuk dipilih,  karena sudah teramat sering secara terbuka melalui media massa saya minta untuk diusut tuntas dan transparan, tetapi sepengetahuan saya belum dilakukan sebagaimana kasus-kasus pengelolaan keungan negara oleh pihak-pihak lain yang begitu berani, semangat dan transparan di Aceh. 


Khusus kepada BPK, BPKP dan Inspektorat, katika masih sebagai anggota DPD RI (2014-2019) dalam beberapa kali reses ke Aceh dan wujud nyata melaksanakan fungsi kontrol yang merupakan salah satu tupoksi yang melekat pada setiap anggota parlemen yang berusaha bekerja profesional, melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan instrumen negara tersebut,  dalam setiap RDP secara khusus saya minta mengaudit dana hibah Rp 650 miliar itu, namun sampai saat ini tidak pernah terdengar permintaan itu sudah dilaksanakan atau tidak. 


Padahal untuk pihak-pihak lain juga begitu berani, bersemangat dan transparan melakukannya dan telah pula mengumumkan hasil auditingnya ke publik. 


Menurut pemahaman saya tidaklah sulit melakukannya, dimulai dengan pihak pertama yang menyarahkan dan hibah itu, untuk kemudian menelusuri pihak kedua yang menerimanya, kepada pihak mana saja disalurkan, dimana lokasi dan apa saja bentuk pemanfaatannya serta sejauh mana manfaat yang didapatkan dari dana hibah itu.


Berdasarkan fakta ini, senafas dengan anggota DPRA itu, saya meminta kepada semua instrumen negara itu (Kepolisian, Kejaksaan, BPK, BPKP, Inspoktarat dan KPK)  yang bekerja profesional, niscaya tidak terkesan tebang pilih (saboh bak talak  saboh yup tapak), hendaklah juga memilih, menangani dan mengusut secara tuntas dan transparan kasus dana hibah untuk pemberdayaan ekonomi mantan kombatan GAM yang jumlah nominalnya sangat fantastis itu, Rp 650 miliar, alias Rp 650.000.000.000 (enam ratus lima puluh ribu juta rupiah), dimana dengan jumlah dana sebanyak itu apabila disalurkan dan dikalola dengan amanah, tepat sasaran, tepat guna dan akuntabel, niscayalah puluhan ribu mantan kombatan GAM dapat memberdayakan ekonominya, tidak lagi sebagaimana dialami semisal mantan kombatan GAM yang bernama Abu Ismail (60) sebagaimana pernah diberitakan media massa (Selasa, 15 Desember, 2020) bahwa Abu Ismail ini adalah eks kombatan GAM yang dulu pernah bergerilya ketika daerah operasi militer (DOM) berlangsung di Aceh, tetapi kini hidup di Banda Aceh tanpa rumah tempat berteduh permanen, kerjanya sebagai pemulung, mencari barang-barang bekas untuk dijual kembali dalam upaya menghidupi diri, keluarga dengan delapan orang anak yang menjadi tanggungjawabnya. 


Sementara dalam waktu yang bersamaan kita sudah mafhum belaka para petingginya bagaimana kualitas dan gaya hidup mereka. Nyan ban.

Bagikan:
KOMENTAR