Net |
"Pasal a quo melanggar prinsip kode etik, melanggar konstitusi, mengancam kemerdekaan pers, serta melanggar prinsip kode etik," ujarnya di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis.
Leo Batubara mengatakan hal tersebut ketika memberi keterangan selaku ahli yang dihadirkan oleh pemohon dari perkara pengujian Undang Undang MD3 terkait dengan aturan-aturan pemanggilan paksa oleh DPR.
"Pasal 122, mengancam kemerdekaan pers karena jika MKD mengetahui bahwa ada orang, kelompok, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR atau anggota DPR, utamanya tentu saja dari pemberitaan media pers, DPR jelas mengancam fungsi kontrol pers dan peran pers melakukan pengawasan, kritik, dan koreksi terhadap DPR dan anggota DPR," ujarnya.
Leo Batubara mengatakan bahwa sepanjang pemahamannya bergelut selama 18 tahun terkait kode etik jurnalistik, kode etik suatu organisasi seperti organisasi wartawan, dokter, bahkan kode etik anggota DPR, adalah rambu-rambu yang disusun oleh, dari, dan dipedomani oleh kalangan sendiri.
"Dengan kata lain, tugas MKD sebenarnya adalah untuk menjaga agar anggota DPR taat kepada kode etik, karena anggota DPR taat kepada kode etiknya maka anggota dewan dicegah untuk menjadi urusan penegak hukum, dicegah dari kemungkinan yang menjadi objek penyelidikan, penyidikan, dan atau menjadi terdakwa oleh penegak hukum," kata penulis sejumlah buku mengenai pers tersebut.
Poin dari penjelasan a quo dinilai Leo Batubara sebagai pemberian wewenang MKD berdasarkan Pasal 122 untuk mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang-orang, kelompok, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Kewenangan MKD tersebut dinilainya telah mengambil alih kewenangan MPR sebagai lembaga satu-satunya yang berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
"Keputusan DPR itu jelas mengacaukan ketatanegaraan karena lembaga politik seperti DPR kemudian dalam aturan a quo memiliki kewenangan yudikatif," ujarnya.
Selanjutnya, ia mengemukakan, mengenai Pasal 73 UU MD3 juga bertentangan dengan konstitudi karena amandemen UUD 1945 menyatakan DPR hanya memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
"Berdasarkan amanat konstitusi tersebut, kewenangan DPR untuk memanggil paksa setiap orang setelah sebelumnya gagal, hanya dapat dilaksanakan setelah ada keputusan pengadilan," demikian Sabam Leo Batubara.
Sumber: Antara