Memalukan, Aktivitas Demo Mengatasnamakan Ulama dan Rakyat Aceh Dalam Politik Birokrasi


Selasa, 04 Juli 2023 - 21.12 WIB



Oleh : Tarmidinsyah Abubakar (godfathers)


Sebenarnya saya menulis dan mengatakan tentang sikap ulama Aceh terkait kebijakan presiden dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, bukan langkah dan sikap yang baik bagi politik pribadi kita sendiri.


Karena saya sama dengan memilih jalan tidak populer dalam politik, saya sudah pasti dimusuhi oleh sebahagian besar golongan sealiran tersebut dalam dalam langkah aktivitasnya ditengah masyarakat.


Hal ini beralasan karena pimpinan partai politik dan tokoh politik di Aceh secara mental adalah berorientasi pada kelas demagog yang mereka berbicara kepentingan pribadi serta kelompok politiknya di balik sikap dan bicaranya.


Tetapi kita langka menemukan orang yang mau berbicara dan bersikap sebagaimana politik yang normatif, oleh karena itu kalau saya tidak memgambil keputusan untuk bersikap maka tidak akan ada orang politik atau pemimpin partai politik yang berbicara menentang sikap-sikap yang keliru dari elemen masyarakat yang terlanjur disucikan dalam masyarakat Aceh itu sendiri sebagaimana mereka mengatasnamakan ulama.


Kalau kita kembali pada substansi maka timbul pertanyaan dalam aktivitas politik penolakan Pj. Gubernur yang tidak sesuai permintaannya adalah elemen masyarakat yang mengatasnamakan ulama, yang diperlihatkan dengan model berpakaian mereka.


Pertanyaan berikutnya adalah, apakah pantas ulama melakukan aktivitas politik yang bukan hanya politik praktis tetapi politik demo ala mahasiswa hanya dalam soal penunjukan pejabat gubernur dimana kewenangan itu adalah kewenangan presiden sedangkan daerah kepada DPRA diberi peluang untuk mengusulkan tiga nama tidak pernah di larang kalau diusulkan orang Aceh semuanya.


Sebenarnya yang menjadi persoalan konyol dan memalukan atau mendegradasikan nilai ulama Aceh dalam Politik apa yang telah dilakukan oleh orang-orang yang mengatasnamakan ulama Aceh dan rakyat Aceh tersebut?


Pertama, mereka melakukan manuver politik dimana etika, peran dan fungsi profesi dari ulama ke umara, dari manusia yang urusannya bukan berpolitik pragmatis, tetapi seharusnya mereka berada di ranah moralitas, advisor pada ranah politik pragmatis. Kenapa? Tentu saja karena mereka ulama yang tidak sewajarnya bermain diranah politik kontestan dalam politik negara.


Kedua, Secara sengaja memperlihatkan kepada rakyat Indonesia bahwa betapa ulama Aceh rakus dalam hukum kekuasaan pragmatis, dalam dukung mendukung pejabat pemerintah, dimana ulama sudah menjadi buper aksi bagi kepentingan politik rendahan segelintir orang yang bermental kapitalis dengan membeli harga diri ulama dan menempatkan mereka sebagai support sistem kekuasaan pragmatis.


Ketiga, Ulama juga sudah terlihat sumringah dan rakus dalam hukum kekuasaan politik pragmatis dengan mengatasnamakan seluruh rakyat Aceh untuk mengkapitalisasi politik dan secara kasar mengeksploitasi rakyat Aceh untuk sebuah alat politik.


Keempat, Dengan terlibatnya ulama secara langsung dalam politik dukung mendukung Pj. Gubernur secara kasar bahkan dengan aktivitas demo, kemudian yang bila mereka digunakan oleh DPRA dan Calon Pj Gubernur maka dapat dipastikan bahwa DPRA dan calon pj Gubernur tersebut adalah biang pelaku politik konspirasi dan perampas fungsi serta peran elemen masyarakat Aceh dalam pemerintahan, merampas apa? 


ya, tentu saja merampas dan menjatuhkan status ulama dalam peran dan fungsinya, juga merampas kedaulatan rakyat secara umum, merampas hak wakil rakyat dalam peran dan fungsinya sebagai pengawas anggaran negara. Maka DPRA menjadi penyeludup fungsi dan peran DPRA sendiri dengan mentalitas korupnya yang telah menghilangkan peran dan fungsi elemen politik rakyat secara total.


Kelima, Jika di ketahui DPRA sebagai pelaku skenario politik dibalik demo tersebut maka Ketua Partai Politik di Aceh adalah penanggung jawab utama dalam usaha mendegradasikan ulama dalam ke dalam politik pragmatis yang memalukan dan merendahkan elemen masyarakat dalam bernegara.


Keenam, Dalam keterangannya disampaikan dalam video terlihat bahwa mereka yang mengatasnamakan ulama menggunakan issu dan alat politik "pengancaman" perang yang bermakna bahwa mereka sama sekali tidak mengindahkan ilmu politik dan merusak perdamaian dan mereka hanya menari-nari dalam senjata pamungkas bahwa perang adalah issu paling seksi yang selalu dapat diandalkan untuk dibawa ke politik birokrasi yang sangat mengkuatirkan bagi mereka yang memahami ilmu politik,  sekaligus menjadi lelucon politik yang menggelikan di wilayah syariat Islam.


Ketujuh, Dunia politik Aceh secara umum hanya mengekploitasi perang dan sesungguhnya kita tidak bisa dan tidak mampu memainkan peran politik dalam kepemimpinan. Hal ini sekaligus mengindikasikan dan membiarkan masyarakat Aceh larut diekploitasi sebagai mesin perang yang menempatkan rakyat sebagai tameng, kalau kita ingin jujur maka sebenarnya peran yang dimainkan dalam ranah politik adalah peran kelas demagogis yang jauh dari mentalitas kepemimpinan politik berdaerah, berbangsa dan bernegara.


Inilah sekelumit politik yang bisa diuraikan dalam ranah politik Aceh, dimana ketika kita melakukan langkah politik  semua orang yang memahami ilmu politik sudah mengetahuinya. 


Kenapa? Tentu saja karena mentalitas dan prilaku kita berada dalam propaganda politik yang dalam ilmu politik kebangsaan adalah hanya secuil dari ilmu politik.


Oleh karena itu propaganda politik klasik akan dibaca sebelum anda melakukannya dan mereka yang memahaminya akan memandang sebagai lelucon yang sempurna dalam politik bernegara.


Dengan kata lain kita masih saja mencoba membohongi dalam terang benderang dengan melakukan aktivitas yang menyibukkan rakyat, pada akhirnya rakyat dan yang melakukannya tidak memperoleh manfaat yang baik dalam politik, sementara yang diperoleh hanya bantuan sporadis pada sasaran yang tidak seharusnya yakni ongkos jasa sebagai alat propaganda politik pragmatis sempit.


Saya menulis ini untuk berkontribusi dalam perubahan sosial dan tentu akan banyak orang yang berpikir dalam standar kebiasaan yang berlaku di Aceh dan ini adalah issu politik pilihan yang tidak populer bagi langkah politik personal.


Tetapi saya harus menulisnya untuk menjadi bahan evaluasi dan mencoba menghadirkan politik normatif yang rasionya berbalik dengan cara pikir kebanyakan demi perubahan yang fundamental dalam politik rakyat Aceh, agar politisi benar-benar bisa mencurahkan pikirannya untuk merubah cara hidup rakyat.


Salam.


Penulis adalah Ketua Liga Rakyat Bangkit (LRB)

Bagikan:
KOMENTAR