Oleh : Tarmidinsyah Abubakar (Good Fathers)
Baru saja beberapa hari lalu kita berbicara tentang perempuan Aceh dalam politik dan birokrasi sangat langka sehingga kepemimpinan perempuan semakin hilang di Aceh.
Dulu Aceh terkenal dengan pemimpin perempuan Aceh, bahkan kepemimpinan negara. dalam kepahlawan perang nasional Aceh jauh lebih banyak perempuan daripada lelaki.
Aceh adalah sejarah peradaban dunia dalam kepemimpinan perempuan, tetapi hal itu menjadi sia-sia dalam kebijakan nasional. Sekarang terkesan semua pemimpin lembaga di Aceh haruslah lelaki dan perempuan Aceh hanya menjadi staf dan istri-istri pejabat yang masuk dalam alat penghibur lelaki. Begitulah kebijakan pemerintah memposisikan perempuan dalam hidup masyarakat Aceh.
Siapa yang salah?
Pertama, kelengahan masyarakat Aceh sendiri yang tidak memahami karakter sejarah bangsanya.
Kedua, pemerintah pusat yang alpa dalam kecerdasan membangun masyarakat daerah dengan tool-tool dasar (basic tools) pembangunan rakyat daerah.
Inilah yang terlupakan dalam manajemen kepemimpinan bangsa yang kita sebut secara kamuplase sebagai bangsa besar yang bhinneka tunggal ika yang selalu indah berada di bibir rakyat Indinesia sebagaimana warna lipstik yang merah menyala.
Sesungguhnya pemimpin Republik Indonesia yang memahami rakyat Indonesia dan budayanya perlu memperhatikan kekhasan karakter masyarakat daerahnya sehingga fondasi kekuatan kebangsaan masyarakat daerah Indonesia yang beragam, jangan sampai porak poranda dengan kebijakan pemimpin departemen ditingkat pusat.
Kenapa? Menteri yang menjadikan pimpinan lembaga di daerah sebagaimana kanwil hanya seseorang yang diindikasi bagus pendekatan dengan Menteri atau sekjend departemen, yang sejalan dengan haluan politik pragmatis dengan menteri.
Hal ini sungguh kami memandang sebagai kekeliruan yang telah merusak masyarakat daerah dalam melahirkan kepemimpinan para tokoh-tokoh daerah sebagaimana mana karakter bangsa di wilayahnya.
Sebagai warga masyarakat Aceh kita miris melihat melihat sistem pengambilan keputusan tentang kepemimpinan Aceh, terutama dalam peradaban perempuan dimana Aceh sebagai basis pemimpin perempuan yang masuk salah satu kawasan terhebat di dunia dimana Laksamana perempuan sudah ada sejak tahun 1619 di Aceh, sementara perempuan nusantara lain belum muncul di nusantara.
Apakah pemimpin kita buta di Republik ini untuk mengajak masyarakat dunia bisa menoleh ke Aceh sebagai sebuah bangsa besar yang jauh hari sudah memiliki peradaban dalam hidupnya.
Budaya-budaya dan peradaban daerah butuh kajian mendalam dalam perumusan kebijakan secara nasional, sehingga pemeliharaan nilai-nilai kebangsaan masyarakat daerah tidak binasa dalam Indonesia yang digaungkan sebagai bhinneka tunggai ika dan bhinneka tunggal ika serta lagu kebangsaan Indonesia "Raya".
Kepemimpinan pemerintahan Republik Indonesia dengan sistem demokrasi sejak dilakukan pemberlakuan amandemen UU 1945 tahun 1998 seyogyanya sudah seharusnya bagi pemerintah dalam membuat keputusan wajib terdapat pertimbangan dalam hukum kausalistik dengan memandang berbagai pertimbangan ciri khas kepemimpinan bangsa, budaya dan peradaban sebagaimana bangsa Indonesia yang besar dengan bergabungnya semua bangsa-bangsa diseluruh nusantara ke dalam negara Republik Indonesia.
Sebenarnya itulah yang menjadi alat (tool) kebijakan yang paling utama dalam mengatur kepemimpinan bangsa Indonesia yang besar disemua daerah dalam negara kita.
Pemahaman tentang bangsa-bangsa dalam masyarakat Indonesia inilah disebut cerdas memahami pemerintahan bangsa Indonesia.
Kenapa ini menjadi sangat penting?
Karena dengan muncul ciri kebesaran bangsa-bangsa daerah muncullah semangat budaya dan peradabannya maka bangsa Indonesia menjadi sebuah bangsa yang agung yang disegani dan bukan menjadi bangsa yang kerdil terjajah oleh kekuasaan bangsa asing sebagaimana yang diisukan terhadap bangsa Cina, Arab dan Eropa yang mendominasi bangsa Indonesia.
Kalau saja pimpinan nasional cerdas dan menghormati masyarakat daerahnya dalam kepemimpinan maka formasi sistem perumusan pengambilan keputusan dipusat sudah pasti bersemangat mewujudkan ciri-ciri kepemimpinan daerah dan naif bila kita meniggalkan pertimbangan elemen penting tersebut.
Aceh terkenal dengan kepemimpinan perempuan maka hal ini menjadi suatu kekuatan dalam membangun masyarakat daerah di Aceh sehingga masyarakat dunia masih bisa melihat mini atur bangsa-bangsa didunia di Asia tenggara dalam masyarakat Indonesia. Budaya masyarakat Aceh seharusnya bisa dirasakan sejarah dan pengaruh kepemimpinan dan kehebatan pahlawan-pahlawan perempuan Aceh dalam nuasa hidup masyarakat secara umum sampai saat ini, jangan sampai spirit ini di musnahkan oleh kebodohan kita dalam memimpin bangsa.
Dengan begitulah kita disebut cerdas mengelola kepemimpinan bangsa dan negara besar ini yang sungguh-sungguh kita menghormati kebhinekaan bukan sebatas kamuplase dalam mulut dan lidah pemimpin di pusat.
Misalnya menentukan pimpinan badan perwakilan wilayah di provinsi Aceh, maka masyarakat pasti akan jauh dari image dan asumsi siapa yang banyak uang sogok akan menjadi pemimpin departemen dan lembaga penting dalam masyarakat di daerah Indonesia.
Kalau begitu imagenya maka saya memandang salah satu kebodohan dalam diri kita pemerintah Indonesia adalah dalam perkara manajemen kepemimpinan masyarakat daerah, dimana pemerintah pusat telah merusak dan memporakporandakan kepemimpinan rakyat daerah dan melemahkan anasir-anasir kebesaran bangsa Indonesia yang sangat kuat yang sebenarnya harus digali untuk menjadi alat pembangunan yang sangat efektif bagi rakyat Indonesia.
Saya juga merasa aneh kalau pemerintah Indonesia alpa dalam membangun masyarakat Aceh dalam semangat kepemimpinan pahlawan-pahlawan perempuannya sekaliber "Ratu Safiatuddin, Ratu Nahrisyah". Belum lagi pahlawan Perempuannya Cut Nyak Dhien, Mutia, Putroe phang, putroe neng dan lain-lain yang menjadi spirit kebesaran bangsa ini.
Perlu diingat ya, bahkan bangsa Indonesia di provinsi lain dan bangsa Indonesia secara nasional tidak akan mampu memiliki perempuan pemimpin negara sebagaimana dalam peradaban masyarakat Aceh. Bukankah hal itu sebagai alat dan asset atau kekayaan Republik Indonesia dalam Visi membangun karakter bangsanya?
Nah, saya melihat ada Menteri Agama selama pemerintah presiden Jokowi yang dipilih dari kalangan tentara, yakni Jenderal Facrurrazi, ini adalah kemajuan besar.
Kemudian Presiden juga mangangkat Menteri Agama Yakut yang kesannya tidak sebagaimana menteri-menteri Agama dimasa lalu yang kalem, manyun dan alim.
Dalam perspektif manajemen urusan bangsa lintas agama sesungguhnya orientasi pemerintah adalah pada indeks toleransi, kecerdasan dalam mempertimbangkan hal inilah keberhasilan pembangunan pemerintahan.
Secara pribadi, penulis memberi penilaian kepada menteri Yakut sebagai menteri Agama pertama Indonesia yang berani membuka secara transparan kebangsaan Indonesia yang hidup dalam falsafah pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, dimana hidup dalam lintas agama dan berbagai bangsa di nusantara yang membuat bangsa Indonesia adalah salah satu bangsa besar di dunia.
Karena itulah saya berinisiatif membuat artikel ini dan membuka sebuah harapan untuk membangun kepemimpinan rakyat Aceh yang normal sebagaimana karakter kepemimpinan Aceh yang sesungguhnya bahwa Aceh adalah terkenal dengan pemimpin negara yang hebat dan pahlawannya sebahagian besar perempuan.
Karena itu untuk spirit membangun masyarakat Aceh kita berharap kepala menteri agama secara terbuka agar Kemenag Aceh kali ini seyogyanya dipercayakan kepada perempuan karena kami melihat ada calon perempuan yang memenuhi syarat.
Kami sampaikan hal ini karena kami percaya bahwa menteri agama saat ini adalah menteri yang berani membuat langkah berani dalam membuat pilihan terbaik dan berani memilih keputusan yang tidak polulis dalam politik.
Dan bagi kami masyarakat Aceh, inilah salah satu kesempatan terbaik untuk memperbaiki centang perenang dan lemahnya kepercayaan (trust) publik pada kepemimpinan lelaki dalam masyarakat Aceh di segala bidang bahkan sampai terdegradasi dalam kualifikasi bintang film komedi tradisional dan pelawak serta kepemimpinan militeristik yang tidak sesuai dengan karakter kepemimpinan bangsa Aceh sebagai bangsa yang besar dalam bangsa Indonesia Raya.
Penulis adalah tokoh masyarakat Aceh berdomisili di Banda Aceh.
Salam