Menyoal Test Baca Quran, Jangan Sampai Menista


Jumat, 04 Januari 2019 - 21.41 WIB


LHOKSUKON - Hampir seminggu ini kita disuguhi pemberitaan pro-kontra terhadap usulan Ikatan dai Aceh untuk melakukan uji tes baca Al Quran bagi kedua Pasangan Capres dan Cawapres pada Pemilu 2019 ini. Apa yang dimaksud oleh Ketua Ikatan Da’i Aceh, Tgk. Marsyuddin Ishaq, S. HI didampingi sekretarisnya, Tgk. Fatahillah M. Ag dalam konferensi pers di 3 in 1 Cafe, Banda Aceh pada Sabtu lalu (29/12), sudah cukup jelas dan terang benderang, apalagi bagi kita masyarakat Aceh.


Di Aceh, syarat mampu membaca Quran bagi Bakal Calon, baik legislatif maupun eksekutif, tidak lagi berada diranah perdebatan antara setuju atau tidak, apalagi menggunakan kata ‘Penting atau Tidak?”
Qanun Aceh nomor 3 tahun 2008 dan Qanun Aceh nomor 12 tahun 2016 yang mengatur tentang syarat mampu tes baca Quran tersebut tidak lahir begitu saja di Aceh. Sebagai bagian yang tidak terlepas dari aspirasi penerapan Syari’at Islam, Aceh harus memulainya dengan konflik berdarah, perundingan damai yang Alot, dan perjuangan keras mematahkan logika-logika yang menyesat-nistakan semisal “Tidak penting syarat mampu baca Quran bagi Muslim yang mencalonkan diri jadi Pemimpin.” Karena itu, kita patut merasa sedih bila ada tokoh di Aceh yang mencoba membalikkan bangunan logika dan argumentasi pentingnya  tes baca Quran bagi calon pemimpin. Tidak hanya telah melakukan gol bunuh diri terhadap Aceh, namun orang seperti itu juga sedang berusaha menghilangkan jejak historis lahirnya syarat kemampuan baca Quran di Aceh.



Geli bila menyimak setidaknya dua alasan yang kontra terhadap usulan ini. Pertama yang membandingkan  dengan Calon Ketua PSSI yang tidak dites kemampuan tendangannya, namun yang dilihat hanya visi-misinya. Huft, bagaimana kalau ditanya balik, “Apakah Calon pengantin harus dites bersetubuh di KUA?” Pun tidak, kalau di Aceh, Calon Pengantin diberi pembekalan terkait pengetahuan Agama, termasuk hafalan bacaan salat dan lafal doa mandi junub.


 Kenapa? Karena Sepak Bola itu urusan duniawi semata, sedangkan Calon Pengantin yang hendak berumahtangga sama dengan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan berurusan dengan dunia kepemimpinan, dan itu menyangkut urusan dunia dan ukhrawi. Kedua, yang mengangkat tokoh misionaris kolonial Belanda, Snock, dan Abu Lahab. Bisa baca Quran, tapi tidak beriman dan tidak membela ‘kepentingan Islam’. Ini makin aneh. Logika ini seharusnya terbalik, “Kalau yang tahu Baca Quran, bisa tidak beriman, Bagaimana yang bahkan untuk membaca saja tidak tahu?”


Kami di CISAH (Center for Information of Samudera Pasai Heritage; Pusat Informasi Warisan Budaya Samudera Pasai) juga memiliki cita-cita yang sama, kita merindukan lahirnya Pemimpin-pemimpin di Negeri ini yang tidak hanya mampu baca quran, bahkan kalau mungkin juga dapat membaca inskripsi di nisan-nisan Sejarah milik para Sultan Islam terdahulu. Pada inskripsi itu rata-rata memuat informasi tentang sosok, ayat Quran, Hadist, pesan  tentang kepemimpinan yang adil nan bijaksana, dan bahkan syair-syair arab. Sayang, terbengkalainya situs adalah karena kurangnya pemahaman dan keasadaran dari tingkat pimpinan tingkat atas hingga ke masyarakat lapisan bawah. Gawatnya, bagi masyarakat yang tidak kenal bahwa kaligraphi kuno itu adalah ayat quran, bahkan tega menambat lembu di nisan tersebut.


Apakah Sultan-sultan Aceh yang mampu baca Quran itu tidak toleran atau tidak paham kemajemukan? Untungnya kita memiliki catatan perjalanan Ibnu Batutah, naskah persuratan dengan Sultan Turki, Lonceng hadiah dari Tiongkok, bukti perdagangan di kota pelabuhan Salem, Amerika dan lainnya.


Begini, “Karena salat itu wajib, maka mampu baca alfatihah dan bacaan pada rukun juga wajib, bila belum mampu, maka wajib belajar atau mencari bimbingan,” adalah logika fiqih yang temurun mulai anak kecil pun maklum. Kalau mampu membaca Quran menjadi wajib karena wajibnya salat, maka menyatakan syarat mampu baca quran tidak penting bagi pemimpin umat Islam adalah penistaan agama yang melukai hati ummat Islam.
Kalau begitu cara berpikirnya, gini aja, jangan akui diri Muslim jika menghindar dari kitab sucinya.


Kami berharap ikatan da’i Aceh dapat terus mengawal proses usulan ini hingga sukses melaksanakan tes uji baca Quran bagi Pasangan Calon Presiden yang notabenenya Muslim untuk memimpin Negeri yang mayoritas Muslim,  Indonesia yang kita cintai ini. Semoga Pasangan Calon dan kita semua rakyatnya dapat sukses tidak hanya di dunia, namun juga di akhirat kelak.


Oleh: Andi Srak (Kabid. Pengembangan Kelembagaan dan Kaderisasi LSM CISAH)

Bagikan:
KOMENTAR