Wartawan Meninggal di Tahanan, Dewan Pers Bantah Keluarkan Rekomendasi


Senin, 11 Juni 2018 - 13.29 WIB


JAKARTA - Muhammad Yusuf telah terbujur kaku. Pria berusia 42 tahun itu menghembuskan nafas terakhir di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Kotabaru, Kalimantan Selatan, Minggu siang (10/6).


M. Yusuf adalah wartawan media siber Kemajuan Rakyat.


Menurut Kepala Polres Kotabaru, Ajun Komisaris Besar Suhasto, setengah jam sebelum meninggal dunia Yusuf mengeluhkan rasa sakit pada bagian dada diikuti sesak nafas dan muntah-muntah. Dia sempat dilarikan ke RSUD Kotabaru namun nyawanya tidak terselamatkan, dan Yusuf dinyatakan meninggal dunia pada pukul 14.30 WITA.


Dari hasil visum sementara tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan di tubuh Yusuf. Namun keterangan lebih rinci, masih menurut AKBP Suhasto dalam keterangan kepada media, akan disampaikan pihak RSUD. 


Yusuf menghembuskan nafas terakhir setelah 15 hari mendekam di LP Kotabaru sebagai tahanan titipan Kejaksaan Negeri Kotabaru. Warga Jalan Batu Selira, Desa Hilir Muara, Kecamatan Pulau Laut Utara, Kotabaru, ditangkap karena pemberitaannya mengenai konflik antara warga dengan PT Multi Agro Sarana Mandiri (MSAM) milik Andi Syamsudin Arsyad alias Haji Isam dianggap mencemarkan nama baik MSAM dan sang pengusaha.


Sebelum dititipkan Kejaksaan di LP Kotabaru, Yusuf lebih dahulu mendekam di tahanan Polres Kotabaru sejak pertengahan April lalu.


Yusuf dijerat Pasal 45 A UU 19/2016 tentang Perubahan Atas UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman hukuman penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.


Ketika mengumumkan penetapan Yusuf sebagai tersangka, AKBP Suhasto mengatakan, polisi berwenang menangkap dan memproses pidana wartawan di luar mekanisme UU 40/1999 tentang Pers. Menurutnya, Dewan Pers merekomendasikan polisi menjerat M. Yusuf dengan UU ITE.


Benarkah Dewan Pers merekomendasikan agar polisi menggunakan UU ITE, bukan UU Pers, dalam kasus M. Yusuf?


Anggota Dewan Pers Hendry Ch. Bangun dalam keterangan beberapa saat lalu (Senin, 11/6), meragukan hal itu. Dari pernyataan Hendry dapat disimpulkan bahwa polisi belum pernah berkonsultasi dengan Dewan Pers dalam kasus M. Yusuf.


"Terkadang seperti penangkapan wartawan di Medan. Kata polisi ada rekomendasi, ternyata polisi hanya ngomong dengan ahli pers. Bukan rekomendasi Dewan Pers," ujarnya.


"Prinsipnya, Dewan Pers tidak mungkin memberikan rekomendasi untuk (wartawan) dipidana," sambung Hendry yang juga Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).


Sebelumnya Hendry mengatakan, karya jurnalistik seorang wartawan dilindungi UU Pers terlepas apakah sang wartawan atau medianya sudah memiliki sertifikat atau belum.   


Sementara Ketua Dewan Kehormatan PWI, Ilham Bintang, menyesalkan pihak kepolisian yang tidak menggunakan mekanisme seperti diatur dalam UU 40/1999 tentang Pers.


"Kita mengecam sikap polisi yang membutakan matanya menangani kasus berita hanya lantaran yang merasa dirugikan oleh berita itu seorang tokoh pengusaha yang memiliki jaringan luas di kalangan penguasa. Termasuk pihak kepolisian," ujar Ilham Bintang.


Selain itu, sambungnya, PWI juga menyesalkan sikap Dewan Pers yang tidak aktif memediasi pihak yang bersengketa. Dia khawatir, dengan sikap seperti ini Dewan Pers tidak bisa menjalankan amanah UU Pers dalam kasus pers melawan penguasa dan pengusaha besar.


Sebagai perbandingan, Ilham Bintang menambahkan, sikap Dewan Pers yang tidak dapat diandalkan itu juga terlihat dalam kasus penyerangan kantor Radar Bogor beberapa waktu lalu. Dia menyebut, pernyataan Dewan Pers dalam kasus itu sangat menyakitkan dan tidak adil.


Radar Bogor divonis melanggar kode etik, dan sebagai hukuman harus menerima hak jawab dan menyampaikan permintaan maaf. Dewan Pers juga menyesalkan penyerangan terhadap kantor redaksi Radar Bogor, tetapi tidak menjatuhkan sanksi kepada pihak-pihak yang mengancam kebebasan pers itu. Terkait dengan penyerangan itu, Dewan Pers mempersilakan polisi bila mau menanganinya.


Menurut Ilham Bintang, sikap Dewan Pers yang seperti itu menjadi semacam mesiu bagi kepolisian untuk mengabaikan mekanisme yang diatur dalam UU 40/1999 tentang Pers dalam menangani kasus-kasus pers.


Sumber: rmol
Bagikan:
KOMENTAR