Pejabat Gubernur Omong Kosong (Talk Nonsense) Pada Masyarakat Aceh


Rabu, 09 Agustus 2023 - 16.26 WIB



Oleh : Tarmidinsyah Abubakar (godfathers)


Mengamati Surat Edaran Pejabat Gubernur Aceh Nomor 451/11286 tentang penguatan dan peningkatan syariat Islam bagi aparatur negara dan masyarakat Aceh tidak ubahnya ibarat omong kosong (talk nonsense) pada seluruh masyarakat Aceh.


Kebijakan pemerintah yang tidak diikuti dengan konsekuensi pada beban dan energi pemerintah adalah kebijakan bualan yang kelasnya sebagai kebijakan murahan yang tidak akan mempengaruhi apapun dalam kehidupan masyarakat. Bahkan saya menilai Surat Edaran tersebut untuk membodohkan masyarakat Aceh dengan menggunakan agama sebagai lips service.


Saya memandang bahwa orang disekeliling pejabat gubernur sedang memaksakan kehendak untuk memperbaiki image buruk dalam kepemimpinan lanjutan paska diperpanjang masa tugasnya yang bertentangan dengan DPRA yang tidak mengusulkan namanya dalam perpanjangan masa tugas dimaksud.


Ada sesuatu yang istimewa yang ditunjukkan dalam keputusan presiden bila menentang aspirasi  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai representatif rakyat. Begitupun kebijakan umum pemerintah pusat dalam memutuskan dan menempatkan pejabat gubernur yang bertentangan dengan rakyat maka ada hal yang istimewa yang perlu dilakukan seperti opsi perubahan sosial (social change) atau ada misi tertentu yang ditangani sehingga pemerintah pusat harus menetapkan orang tersebut di Aceh meskipun melawan representatif rakyat sekalipun.


Nah, kalau ada yang istimewa atau ada yang khusus pada kebijakan tersebut dan bisa ditunjukkan maka barulah kebijakan publik tersebut bernilai dan pemerintah atasan tidak dapat dianggap suka-suka atau otoriter dalam keputusannya. Kalau pejabat gubernur menjalankan pemerintahan secara datar bahkan justru kurang dari standar pemerintahan yang berlaku kemudian dipaksakan menjabat, maka bisa ditafsirkan berbagai hal negatif dalam pemerintahan, misalnya ;


Pertama, Pejabat gubernur melakukan sogok kepada pejabat atasan untuk mendapat kepercayaan memimpin suatu daerah atau dapat dianggap membeli kapling wilayah kekuasaan. Akan banyak yang bersuara dan pasti ada yang membuka kalau hal itu benar adanya.


Kedua, Pemerintah pusat tidak menghargai masyarakat Aceh mereka hanya mementingkan tanah atau wilayah yang dikuasai tidak ubahnya seperti tanah atau wilayah dijaman penjajahan yang dilihat hanya sebatas potensi tanahnya bukan memandang pentingnya masadepan rakyat di wilayah tersebut.


Ketiga, Pemerintah pusat juga dapat dianggap tidak menganggap atau meremehkan pejabat politik Aceh dan kualitas keputusan politik masyarakat Aceh sebagai hasil dari pemikiran sempit dan primordialisme.


Keempat, Pemerintah pusat dapat dianggap berkonspirasi dengan kelompok mantan GAM untuk menguasai rakyat Aceh secara otoriter dan memaksakan apapun yang menjadi kepentingan pragmatis mereka.


Kelima, Pemerintah pusat hanya menguras isi tanah Aceh apalagi dengan mengeluarkan izin tambang dengan jumlah signifikan dalam waktu yang singkat.


Keenam, Pemerintah juga dapat dianggap pemerintah yang anti demokrasi sekaligus melanggar konstitusi negara yang demokratis dan mereka kembali ke masa orde baru yang memaksakan kehendak kepada rakyat daerah.


Inilah dampak negatif yang timbul apabila kebijakan pejabat gubernur hanya lips service dalam isi kebijakannya sebagaimana surat edaran no. 451/11286 tentang peningkatan syariat Islam.


Kebijakan tersebut akan berbeda  bila ada konsekwensi pada pemerintah misalnya membebani biaya, membebani tambahan pekerjaan sehingga bukan hanya Talk Nonsense (omong kosong).


Kenapa? Karena pekerjaan pemerintah bukan sebagaimana pekerjaan nabi apalagi moralitas dan mentalitas Ahmad Marzuki pejabat gubernur yang pernah berbohong tentang calon dirut Bank Aceh, tentu saja jauh dari model kepemimpinan nabi Muhammad SAW. 


Pekerjaan pemerintah seharusnya lebih fokus pada tahapan pencapaian kesejahteraan rakyat sebagaimana cita-cita negara. Dengan demikian pejabat gubernur dengan kebijakan dan programnya perlu beriringan dengan kesempatan kerja masyarakat untuk memperoeh pendapatan, atau ada kemampuan pejabat gubernur menawarkan program bagi masyarakat yang menghasilkan pendapatannya.


Karena apa? Tentu saja karena masyarakat Aceh sekarang adalah sebagai provinsi termiskin di Sumatera sementara uang negara yang dikucurkan untuk daerah Aceh justru lebih banyak dari masa sebelumnya. Tetapi kenapa hasilnya terbalik? Ini kan menjadi pertanyaan dan pejabat gubernur dan wakil rakyat ada yang salah dalam arah dan prilaku mareka dalam pembangunan.


Lalu, bagaimana sebaiknya kebijakan yang dikatakan berisi yang bukan kebijakan omong kosong?


Bila kebijakan gubernur ingin memberdayakan meunasah, maka perlu diiringi dengan penyertaan biaya modal agar meunasah tersebut memiliki aktivitas yang bertanggung jawab. Minimal ada pekerjaan yang menjadi tanggung jawab meunasah, misalnya meunasah juga membutuhkan manajemen organisasi penggerak bukan sebatas diserahkan pada bilal yang tidak bisa dimanage untuk kepentingan bersama yang lebih besar dalam urusan pengembangan masyarakat.


Jadi ada beban pengorbanan biaya dan tenaga pemerintah untuk terlihat serius untuk menjalankan kebijakan yang dibuatnya, sehingga bukan dianggap alat bual yang hanya menjadi pengalih issu politik belaka atau issu sampingan untuk pembodohan rakyat Aceh yang sudah biasa berlaku.


Oleh karena itu sebagai bahagian dari masyarakat Aceh, kita berharap minimal pejabat gubernur bisa membangun organisasi pemerintah daerah yang rapi dan berdaya guna, buanglah anasir-anasir yang tidak penting yang memboroskan biaya pemerintah daerah dengan menggaji pekerja yang tidak wajar digaji, kalau menggaji orang maka perlu uji kompetensi bukan hanya merekrut orang-orang yang di sampaikan oleh orang dekat pejabat gubernur yang sama sekali tidak berandil untuk pelayanan masyarakat dan meningkatkan sumber daya manusianya.


Saya sebagai masyarakat Aceh hanya sekedar ingin tahu bagaimana organisasi pemerintah daerah yang dimasa lalu terjadi pemborosan dengan berbagai tim asistensi terutama dimasa covid, apakah tim ini sudah dibubarkan atau mereka masih makan gaji buta karena tugas mereka sama sekali tidak diketahui publik.


Nah, kalau hal ini bisa dilakukan oleh pejabat gubernur dan staf ahlinya mungkin pejabat gubernur dapat dianggap memahami tugas-tugasnya tapi kalau hal itu saja loss sudah pasti pembangunan rakyat Aceh ditangan pejabat gubernur justru mundur ke belakang dan tim ahlinya serta timsesnya hanya mengandalkan jilatan lidahnya bukan isi otaknya, karena kebijakan publik yang keluar adalah kebijakan publik ecek-ecek (pura-pura).


Karena pembangunan yang dilaksanakan salah kaprah dan kontra produktif dengan pembangunan masyarakat dalam negara Indonesia untuk mencapai tahapan kesejahteraannya. Kalau tahapan kesejahteraan tidak mampu dibangun oleh pejabat gubernur kemudian memerintahkan masyarakat melaksanakan syariat Islam sementara hasil buminya dikuras maka sekali lagi sama dengan omong kosong (talk nonsense) dalam terminology masyarakat eropa dan China.


Salam


Penulis adalah Ketua Presidium Komunitas Liga Rakyat Bangkit (LRB).

Bagikan:
KOMENTAR