Monumen Islam Samudra Pasai di Aceh Utara Menghabiskan APBN mencapai 80 miliar, Kenapa Jalan Belum dibangun ?


Minggu, 21 Juni 2020 - 12.36 WIB


LHOKSEUMAWE - Pekerjaan konstruksi Monumen Islam Samudra Pasai di Gampong Beuringen, Kecamatan Samudera, Aceh Utara, menghabiskan APBN mencapai Rp80 miliar. Sedangkan pembangunan Museum Islam Samudra Pasai menggunakan dana Otsus Kabupaten Aceh Utara Rp7,5 miliar. Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Aceh Utara menargetkan monumen itu difungsikan tahun 2021 setelah selesai pekerjaan tata pamer, juga direncanakan bersumber dari APBN. Sedangkan museum sudah difungsikan setelah diresmikan Bupati Aceh Utara, 9 Juli 2019. Namun, jalan menuju monumen dan museum itu masih berlumpur akibat banyak lubang.  "Saat pusat (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) turun ke Aceh Utara mengecek hasil pekerjaan konstruksi monumen, mereka selalu tanya: 'kenapa jalan belum dibangun? Kapan akan dibangun?'," kata Kepala Bidang Kebudayaan Disdikbud Aceh Utara, Nurliana NA. Nurliana menyampaikan itu dalam pertemuan dengan tim Komisi VI DPRA, Tgk. Haidar (wakil ketua), Amiruddin Idris dan Ilham Akbar (anggota), serta Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata  (Disbudpar) Aceh, Jamaluddin, di Museum Islam Samudra Pasai, Jumat, 19 Juni 2020, sore. Tim Komisi VI berkunjung ke museum itu semuanya anggota DPRA dari Dapil Bireuen. Menurut Nurliana, pertanyaan-pertanyaan pihak Kemendikbud terkait belum dibangun jalan Monumen dan Museum Islam Samudra Pasai, secara tidak langsung ia rasakan semacam ancaman. "Itu jadi ancaman dari pusat bagi saya. ‘Kalau tidak ada komitmen pembangunan jalan oleh pemerintah daerah’, mungkin akan ‘disetop’ anggaran dari pusat untuk tata pamer monumen tahun 2021’. Memang pusat tidak menyampaikan secara langsung seperti itu, karena tidak berhak begitu, tapi yang saya rasakan kira-kira seperti itu,” ujarnya. “Bapak-bapak tadi jalan ke sini kalau enggak bocor ban (mobil)  Alhamdulillah. Biasanya kondisi jalan sangat becek. Itu memang sangat tidak layak. Kita sudah siapkan DED (detail engineering design), pembangunan jalan butuh Rp8 miliar. Ke Pak Gubernur, Dinas PUPR Aceh sudah saya ajukan sejak 2017 sampai 2019. Saya tidak tahu kenapa belum realisasi, saya hampir putus asa. Hari ini saya titipkan ke bapak-bapak. Saya ingin buat kesepakatan dengan bapak-bapak,” kata Nurliana.  Nurliana kemudian membacakan draf “Kesepakatan Komisi VI DPRA dan Disbudpar Aceh untuk Membangun Jalan Monumen dan Museum Islam Samudra Pasai”. Kesepakatan itu memuat lima poin pertimbangan, salah satunya belum ada jalan yang layak. “Bersedia bapak teken?” tanya Nurliana kepada tim Komisi VI DPRA dan Kepala Disbudpar Aceh. Merespons pertanyaan itu, Wakil Ketua Komisi VI DPRA, Tgk. Haidar, menyebut kunjungan pihaknya bukan sekadar melihat, tapi lebih daripada itu. “Saya lihat gedung cukup megah. Kondisi jalannya sangat bertolak belakang dengan gedung ini,” tuturnya. “Apa yang Ibu (Kabid Kebudayaan) sampaikan terutama jalan, kami siap menyampaikan dan memperjuangkan. Jadi, ibu harus yakin, tidak usah pakek-pakek kesepakatan. Kami berjanji akan memperjuangkan, insya Allah. Ibu tidak usah ragu. Kami bisa sampaikan ke Komisi IV (membidangi infrastruktur), dan kepada pimpinan DPRA nantinya,” kata Tgk. Haidar akrab disapa Tu Haidar. Nurliana lantas menimpali, “Saya tidak pernah menyimpan keraguan. Tapi pusat sepertinya ragu, sehingga mereka selalu bertanya saat turun ke sini. Dengan kondisi saat ini, seolah-olah orang yang berkunjung mengatakan, waduh beli kerbau sanggup, beli tali enggak sanggup”. Sampai pertemuan berakhir, tim Komisi VI DPRA dan Kepala Disbudpar Aceh tidak menandatangani kesepakatan disodorkan Nurliana dengan berdalih jalan bukan tupoksi mereka. Mereka hanya bersedia menerima DED (TOR) Jalan Monumen dan Museum Islam Samudra Pasai diserahkan Nurliana. “Kesepakatan itu sebenarnya juga untuk menjaga semangat anak-anak muda yang membantu pengelolaan museum ini, yang ingin melihat komitmen DPRA dan Disbudpar Aceh. Karena kita semua di museum ini merasa prihatin melihat anak-anak sekolah dan pengunjung lainnya harus melewati jalan rusak parah,” ujar Nurliana kepada wartawan usai pertemuan itu. Menurut Nurliana, apabila Komisi VI DPRA dan Disbudpar Aceh beralasan pembangunan jalan monumen dan museum bukan bidang tugas mereka sehingga menolak menandatangani, tentu masih bisa diperbaiki judul kesepakatan tersebut. Misalnya, komitmen mendukung usulan pembangunan jalan itu. Nurliana juga menjelaskan, setelah Museum Islam Samudra Pasai diresmikan pada Juli 2019, pihaknya hanya menerima dana operasional museum Rp127 juta dari APBK Aceh Utara. “Dibantu DAK 2019 Rp400 juta untuk kegiatan museum. Itu dikhususkan nonfisik, untuk belajar bersama di museum, dan program museum masuk sekolah, untuk kajian-kajian manuskrip, dan penataan koleksi benda peninggalan sejarah,” tuturnya. Sedangkan Monumen Islam Samudra Pasai akan difungsikan setelah dibuat tata pamer direncanakan menggunakan APBN 2021. “Ditjen Kebudayaan Kemendikbud menjanjikan alokasi Rp7,5 M untuk 2021. Dana itu untuk lift sampai Rp2 M lebih, ada tempias untuk taman sedikit, dan yang lainnya semua untuk tata pamer. Kita sudah buat kajian, dan kita sekarang tahu apa yang mau kita tempatkan di setiap item ruas rongga bangunan itu. Dan mereka mengatakan Rp7,5 M itu mungkin terakhir,” ujar Nurliana. Nurliana menambahkan, persoalan sekarang belum ada jalan layak menuju monumen dan museum itu. “Setiap orang pusat ke sini sejak 2012, mereka melewati jalan berliku-liku, jalan desa. Terakhir datang kemarin itu dari Irjen Kemendikbud untuk memeriksa pekerjaan 2019, tetap ditanyakan ‘jalannnya bagaimana?’ Saya hanya bisa menampakkan RAB pembangunan jalan, dia datang lagi, kok belum dibangun. Selalu akan, sampai kapan? Saya jadi pilu, karena setiap orang ngomong dua bangunan mercusuar kenapa jalan seperti itu”. “Saya kalau ditanya oleh siapapun, itu anggaran darimana saja yang sudah realisasi, tetap saya harus bilang (pembebasan) tanahnya dengan APBK, konstruksinya (monumen) APBN. Kalau ditanya dari APBA di mana, mungkin belum, itu jalan. Makanya saya berusaha jalan itu harus APBA, karena kalau APBK tidak mampu lagi. Sesuai DED, pembangunan jalan butuh Rp8,067 M, panjangnya 500 meter, lebarnya 300 meter. Itu turap pinggirnya makanya perlu dana besar. Jalannya mungkin dibuat dua jalur,” ujar Nurliana. Wakil Ketua Komisi VI DPRA, Tgk. Haidar menjawab para wartawan usai pertemuan itu mengatakan, “Kami kemari untuk melihat apa saja, sesuai tupoksi Komisi VI membidangi Keistimewaan (Agama, Pendidikan, Kebudayaan) dan Kekhususan Aceh. Ternyata sampai kemari kami disuguhkan masalah jalan. Kami katakan kepada Kabid Kebudayaan, bukan ranah kami, karena kita kerja sesuai tupoksi”. “Tapi meskipun bukan ranah kami, kami siap memfasilitasi pertemuan dengan Komisi IV.  Maka kita sarankan orang-orang di sini audiensi dengan Komisi IV, kita siap memfasilitasi,” tutur Tu Haidar. Tu Haidar juga mengatakan, “Saya lihat gedung (museum) sudah lumayan megah, saya lihat jalan memang sangat miris. Memang jalan itu terhubung (dengan monumen dan museum), karena kalau tidak ada jalan tidak bisa kemari. Jalan ini perlu segera diselesaikan. Segala upaya sama-sama kita, baik kabupaten maupun provisi saling koordinasi. Karena Monumen dan Museum Islam Samudra Pasai ini gaungnya Asia Tenggara, bukan hanya Aceh”. Kepala Disbudpar Aceh, Jamaluddin, mengakui kondisi jalan monumen dan museum itu sangat butuh perhatian. “Karena apapun cerita untuk kita ke destinasi wisata, jalan ini harus baik. Sekarang kita lihat jalannya belum beraspal. Tentunya harus ada SKPA kalau di provinsi dan SKPK Aceh Utara yang berkompeten mungkin bisa turun ke sini, melihat, dan kalau bisa memprogramkan pembangunan jalan yang layak,” ujarnya. Dia menyebut persoalan jalan tersebut menjadi kewenangan Dinas PUPR ataupun Dinas Perkim. “Tentunya kita dorong, kita minta bantu pada teman-teman di Perkim, mereka juga bisa turun ke lapangan melihat apakah ini kewenangan dari Perkim untuk membangun,” kata Jamaluddin. Jamaluddin mengapresiasi pengelolaan Museum Islam Samudra Pasai. “Saya pikir luar biasa pengelolanya, menjaga artefak-artefak yang ada di Samudra Pasai. Bisa menghadirkan anak-anak sekolah ke sini tidak mudah. Kita akan men-support kegiatan-kegiatan museum ini,” ujarnya. Ditanya apa yang sudah dilakukan pihaknya dari Pemerintah Aceh untuk Monumen dan Museum Samudra Pasai, Jamaluddin mengatakan, “Dari Pemerintah Aceh tentunya waktu bangun gedung museum ini dulu yang bersumber dari dana Otsus kabupaten/kota yang sebagian dilaksanakan melalui APBK, sebagian melalui DPA (dokumen pelaksana anggaran) Pemerintah Aceh, dan gedungnya sudah jadi seperti ini. Alhamdulillah pada tahun 2019 sudah difungsionalkan, dan tadi saya dapat laporan juga dibantu dari DAK (dana alokasi khusus) Kemendikbud (untuk kegiatan museum)”. “Masih banyak yang harus dilakukan ke depan, dari Disbudpar Aceh kita akan membantu meningkatkan SDM pengelola museum ini. Nanti kita akan berkolaborasi, di provinsi ada Museum Aceh, ada Museum Tsunami, nanti saat kita adakan pelatihan akan kita undang Museum Samudra Pasai untuk kita tingkatkan SDM pengelola museum ini. Tahun 2021 kita buat pelatihan-pelatihan kepada pengelola museum,” tutur Jamaluddin. Jamaluddin menyatakan pemerintah akan terus memberikan perhatian secara bertahap terkait pelestarikan peninggalan Kerajaan Islam Samudra Pasai. “Pemerntah pusat sudah membangun monumen yang sangat luar biasa, yang sudah menelan anggaran Rp80 miliar. Kemudian dari pemerintah (daerah) saya pikir juga sudah membantu museum. Dan sangat diharapkan saat ini pembangunan jalan yang layak,” katanya.(Rill)
Bagikan:
KOMENTAR