Generasi Muda Lupa Budaya


Minggu, 21 Mei 2017 - 10.40 WIB


SEIRING makin berkembangnya teknologi dan informasi, perlahan tapi pasti, nilai-nilai budaya di tengah-tengah masyarakat ikut memudar. Hal ini disebabkan, generasi muda lebih fokus kepada perkembangan teknologi dibanding memikirkan kelestarian budaya daerahnya.


Hal ini sungguh memperihatinkan, betapa tidak lama kelamaan nilai-nilai budaya leluhur lama kelamaan hanya akan menjadi dongeng tidur, bagi anak-anak. Bagaimanapun juga, hal ini tidak boleh terus dibiarkan. Pemerintah dalam hal ini, harus berpartisipasi aktif untuk terus berupaya memperkenalkan budaya leluhur kepada generasi muda.


Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa era globalisasi sangatlah merajalela di negara-negara berkembang di dunia ini. Salah satunya adalah negeri tercinta kita ini, Indonesia.


Kenapa generasi muda kita lupa akan budaya sendiri? Bagaimana cara menyadarkan bahwa budaya sendiri adalah jati diri negara? Apa saja yang harus kita lakukan sebagai salah satu generasi penerus bangsa untuk menjaga budaya sendiri? Bukannya ada globalisasi kita bisa memperkuat pandangan negara di seluruh dunia terhadap negara kita semakin kuat? Kenapa kita tidak bisa bersaing dengan negara lain? Kenapa anak muda sekarang lebih tertarik dengan kebudayaan orang? Terus siapa yang akan mengembangkan kebudayaan kita? Apa kita ingin budaya kita punah? Bagai mana anak cucu kita mengetahui budaya asli negerinya sendiri? Ini semua adalah pertanyaan yang harus kita pikirkan.


Aceh sebuah provinsi di Indonesia. Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Ibu kotanya adalah Banda Aceh. Jumlah penduduk provinsi ini sekitar 4.500.000 jiwa. Letaknya dekat dengan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan Aceh merupakan provinsi yang mempunyai sejuta kakayaan alam, provinsi Aceh juga dikenal luas dengan julukan Aceh serambi Mekah. Selain itu provinsi Aceh juga dikenal dengan daerah sejuta warung kopi, provinsi Aceh sangatlah kental dengan budaya.


Aceh mempunyai rumah adat dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat Aceh dibuat dari kayu meranti dan berbentuk panggung. Mempunyai 3 serambi yaitu Seuramoe Keu (serambi depan), Seuramoe Inong (serambi tengah) dan Seuramoe Likot (serambi belakang). Selain itu ada pula rumah adat berupa lumbung padi yang dinamakan Krong Pade atau Berandang.


Pakaian adat yang dikenakan pria Aceh adalah baju jas dengan leher tertutup (jas tutup), celana panjang yang disebut cekak musang dan kain sarung yang disebut pendua. Kopiah yang dipakainnya disebut makutup dan sebilah rencong terselip di depan perut.


Wanitanya memakai baju sampai kepinggul, celana panjang cekak musang serta kain sarung sampai lutut. Perhiasan yang dipakai berupa kalung yang disebut kula, pending atau ikat pinggang, gelang tangan dan gelang kaki. Pakaian ini dipergunakan untuk keperluan upacara pernikahan.


Tari-tarian Aceh tari Seudati, berasal dari arab dengan latar belakang agama islam. Sebuah tarian dinamis penuh keseimbangan dengan suasana keagamaan. Tarian ini sangat disenangi dan terkenal di Aceh.


Tarian Saman Meuseukat, dilakukan  dalam posisi duduk berbanjar dengan ajaran kebajikan, terutama ajaran agama islam.


Tarian Pukat, adalah tarian yang melambangkan kehidupan para nelayan dari pembuatan pukat hingga mencari ikan.


Tari Rebana, merupakan tari kreasi yang menekankan pada keterampilan memainkan alat musik "rebana" dalam mengiringi gerak-gerak lincah khas Aceh. Tari ini biasa ditampilkan dihadapan tamu-tamu agung.


Senjata tradisional yang dipakai oleh penduduk Aceh adalah rencong. Wilahan rencong terbuat dari besi dan biasanya bertuliskan ayat-ayat Al Quran. Selain rencong, rakyat Aceh mempergunakan pula pedang dengan nama pedang daun tebu, pedang oom ngom dan reudeuh. Pedang daun tebu dipakai oleh pamglima perang dan reudeuh oleh para prajurit.


Alat musik tradisional dari Nangroe Aceh Darussalam.

Arbab
Arbab merupakan alat musik tradisional Aceh yang terbuat dari alam. Alat musik arbab ini dibuat dari tempurung kelapa, kulit kambing, kayu dan dawai, sementara busur penggeseknya terbuat dari kayu, rotan atau serat tumbuhan. Terdiri dari 2 bagian, yaitu instrumen induk yang disebut arbab dan penggeseknya yang disebut dengan Go Arbab.


Arbab alat musik tradisional Aceh yang dibunyikan dengan cara digesek ini pernah berkembang di daerah Pidie, Aceh Besar dan Aceh Barat. Diperkirakan alat musik Arbab ada pada jaman Belanda. Akan tetapi sayangnya, saat ini alat musik Arbab sudah jarang dan mungkin hampir punah dari Serambi Mekah.


Bangsi Alas
Alat musik tradisional Aceh yang bernama Bangsi Alas adalah merupakan instrumen tiup dari bambu yang dijumpai banyak dijumpai di daerah Alas, Kabupeten Aceh Tenggara. Secara tradisional pembuatan Bangsi dikaitkan dengan mistik, yaitu ketika ada orang meninggal dunia di kampung/desa tempat Bangsi dibuat. 


Apabila diketahui ada seorang meninggal dunia, Bangsi yang telah siap dibuat sengaja dihanyutkan disungai. Setelah diikuti terus sampai Bangsi tersebut diambil oleh anak-anak, kemudian Bangsi yang telah di ambil anak-anak tadi dirampas lagi oleh pembuatnya dari tangan anak-anak yang mengambilnya. Bangsi inilah nantinya yang akan dipakai sebagai Bangsi yang merdu suaranya.
Sangat sedikit informasi tentang alat musik Bansi Alas ini, mungkin keberadaannya sudah langka dijaman ini. 


Canang
Canang adalah alat musik tradisional dari Aceh yang sering dijumpai pada kelompok masyarakat Aceh, Gayo, Tamiang, dan Alas. Masyarakat Aceh menyebutnya "Canang Trieng", di Gayo disebut "Teganing", di Tamiang disebut "Kecapi" dan di Alas disebut dengan "Kecapi Olah".


Canang terbuat dari kuningan dan bentuknya menyerupai gong. Hampir semua daerah di Aceh terdapat alat musik canang dan masing-masing memiliki pengertian dan fungsi yang berbeda-beda pula.


Fungsi canang secara umum sebagai penggiring tarian-tarian tradisional. Canang juga sebagai hiburan bagi anak-anak gadis yang sedang berkumpul. Biasanya dimainkan setelah menyelesaikan pekerjaan di sawah ataupun pengisi waktu senggang.


Geundrang 
merupakan salah satu unit alat musik tradisional Aceh yang merupakan bagian dari perangkatan musik Serune Kalee.


Geundrang termasuk jenis alat musik yang dibunyikan dengan cara dipukul baik dengan menggunakan tangan atau memakai kayu pemukul. Geundrang dijumpai di daerah Aceh Besar dan juga dijumpai di daerah pesisir Aceh seperti Pidie dan Aceh Utara. Fungsi Geundrang nerupakan alat pelengkap tempo dari musik tradisional etnik Aceh.


Serune Kalee
Serune Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh adalah alat khas tradisional Aceh Musit yang dimainkan sejak jaman dahulu. Instrumen ini populer di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar dan Aceh Barat. Alat musik tradisional serune kalee ini biasanya dimainkan dalam hubungannya dengan Gendrang Rapai dan acara hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan pada raja raja kerajaan zaman keemasan Aceh Darussalam.


Serune Kalee bersama dengan geundrang dan Rapai merupakan suatau perangkatan musik sejak masa kejayaan kerajaan Aceh Darussalam sampai sekarang tetap menghiasi / warna musik dalam budaya tradisional Aceh. Instrumen ini adalah salah satu alat musik layaknya seruling atau klarinet, tersebar di komunitas Melayu.


Kata Serune Kalee mengacu pada dua hal yang berbeda. Kata pertama, menunjuk ke kuningan Serune tradisional Aceh yang sering bermain bersama Rapai. Sementara Kalee adalah nama dari sebuah nama desa di Laweung, Pidie. 


Peralatan musik tidak hanya digunakan oleh orang-orang Aceh, tetapi juga Minangkabau, Agam, dan beberapa daerah lainnya di Sumatera Barat. Bahkan, distribusi pasokan ini mencapai Thailand, Sri Lanka, dan Malaysia. Semacam ini alat musik juga ditemukan di daerah pesisir lainnya dari Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan, seperti Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, Aceh Barat, dan dengan nama yang sama.


Taktok Trieng
Taktok Trieng sejenis alat pukul yang terbuat dari bambu. Alat ini dijumpai di daerah Kabupaten Pidie, Aceh Besar dan beberapa kabupaten lainnya. Taktok Trieng dikenal ada 2 jenis: satu dipergunakan di Meunasah (langgar-langgar), dibalai-balai pertemuan dan di tempat-tempat lain yang dipandang wajar untuk diletakkan alat ini. Dan jenis yang dipergunakan di sawah-sawah berfungsi untuk mengusir burung ataupun serangga lain yang mengancam tanaman padi. Jenis ini biasanya diletakkan di tengah sawah dan dihubungkan dengan tali sampai ke dangau (gubuk tempat menunggu padi di sawah).


Rapai
Alat musik tradisional Rapai merupakan alat musik yang dibunyikan dengan cara dipukul. Menurut Z.H Idris, alat musik Rapai ini berasal dari Bahdad (irak), dan dibawa ke Aceh oleh seorang penyiar agama Islam bernama Syeh Rapi.


Dalam pertunjukannya, alat musik rapai ini dimainkan oleh 8 sampai 12 orang pemain yang disebut awak rapai. Alat musik Rapai ini berfungsi untuk mengatur tempo dan tingkahan-tingkahan irama bersama Serune kalee maupun buloh perindu.
Berdasarkan besarnya rapai serta fungsinya, alat musik tradisional dari Aceh ini terdiri dari beberapa jenis yaitu :
Rapai Pasee (rapai gantung)
Rapai Daboih
Rapai Geurimpheng (rapai macam)
Rapai Pulot
Rapai Anak/tingkah
Rapai kisah


Alat musik rapai ini biasanya dimainkan dalam berbagai kesempatan seperti misalnya pada saat pasar malam, upacara perkawinan, ulang tahun, mengiringi tarian, memperingati hari hari tertentu dan acara lainnya. Namun, selain dimainkan secara tunggal alat musik rapai ini juga dapat digabungkan dengan peralatan musik lainnya.


Rapai berbentuk seperti tempayan atau panci dengan berbagai ukuran. Dibagian atas rapai ditutup dengan kulit, sedangkan bagian bawahnya kosong.


Celempong
Celempong adalah alat kesenian tradisional yang terdapat di daerah Kabupaten Tamiang. Alat ini terdiri dari beberapa potongan kayu dan cara memainkannya disusun diantara kedua kaki pemainnya.


Celempong dimainkan oleh kaum wanita terutama gadis-gadis, tapi sekarang hanya orang tua (wanita) saja yang dapat memainkannnya dengan sempurna. Celempong juga digunakan sebagai iringan tari Inai. Diperkirakan Celempong ini telah berusia lebih dari 100 tahun berada di daerah Tamiang.


Bereguh
Bereguh nama sejenis alat tiup terbuat dari tanduk kerbau. Bereguh pada masa silam dijumpai didaerah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan terdapat juga dibeberapa tempat di Aceh. Bereguh mempunyai nada yang terbatas, banyakanya nada yang yang dapat dihasilkan Bereguh tergantung dari teknik meniupnya.


Fungsi dari Bereguh hanya sebagai alat komunikasi terutama apabila berada dihutan/berjauhan tempat antara seorang dengan orang lainnya. Sekarang ini Bereguh telah jarang dipergunakan orang, diperkirakan telah mulai punah penggunaannya.


Tambo
Sejenis tambur yang termasuk alat pukul. Tambo ini dibuat dari bahan Bak Iboh (batang iboh), kulit sapi dan rotan sebagai alat peregang kulit. Tambo ini dimasa lalu berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menentukan waktu shalat/sembahyang dan untuk mengumpulkan masyarakat ke Meunasah guna membicarakan masalah-masalah kampung.Sekarang jarang digunakan (hampir punah) karena fungsinya telah terdesak olah alat teknologi microphone.


Genggong
Genggong adalah suatu alat tiup halus yang berasal dari suku alas, alat musik ini yang berbunyi dari getaran besi yang ditempa sedemikian rupa seakan-akan suara genggong tersebut hanya dapat didengar oleh beberapa orang, ini dibunyikan pada saat larut malam. Genggong ini biasa dimainkan oleh seorang pemuda untuk membangunkan pacarnya yang sedang tidur.


Dengan bertambahnya tahun dan berganti generasi, ada kalanya tradisi yang telah dipertahankan dan dijaga dengan baik oleh para leluhur kita secara perlahan-lahan mulai luntur. Generasi muda, karena pengaruh dari budaya modern yang kembang serta disukai mereka, sedikit demi sedikit mulai melupakan dan tidak meminati budaya asli tradisionalnya. Jika hal tersebut terus dibiarkan, maka tidak mustahil warisan asli budaya tradisional akan punah dengan cepat.


Ada beberapa cara yang Anda bisa lakukan agar anak-anak Anda mau mencintai budaya asli tradisionalnya dengan senang hati dan tanpa paksaan. Beberapa cara tersebut di antaranya:


1. Menjadi teladan


Orang tua harus pertama-tama mencintai budaya asli leluhurnya atau budaya daerah setempat di mana Anda tinggal. Ketika anak melihat teladan dari orang tuanya bahwa mereka sangat menghargai dan mencintai budayanya maka kemungkinan besar anak akan meniru dengan senang hati.


2. Menggunakan bahasa daerah di rumah


Indonesia memiliki banyak bahasa daerah. Gunakan bahasa daerah dari mana Anda berasal ketika berada di rumah dengan cara demikian kelestarian masing-masing bahasa daerah akan tetap terjaga.


3. Mengikuti les keterampilan


Kegiatan ektrakulikuler baik yang diadakan oleh pihak sekolah atau secara pribadi dapat memotivasi anak-anak untuk mempelajari kesenian-kesenian daerah. Mengikutsertakan putra atau putri Anda ke dalam sanggar-sanggar kesenian adalah salah satu cara memperkenalkan sekaligus untuk mempelajari keterampilan-keterampilan kesenian daerah, tidak hanya dari daerah asal Anda tetapi juga kesenian dari daerah lain.


4. Rekreasi budaya keluarga


Alih-alih pergi ke mall atau tempat-tempat hiburan untuk anak-anak, jika tersedia di daerah Anda, Anda dapat sesekali membuat ide mengajak mereka untuk mengunjungi pusat-pusat kesenian daerah setempat, seperti: pusat kesenian membatik, pusat kesenian musik tradisional, museum budaya, dan lain sebagainya.


Budaya tradisional di masing-masing daerah di Indonesia sangat beragam. Keragaman budaya tersebut menambah keunikan kita sebagai bangsa yang besar. Zaman boleh berubah, generasi boleh berganti, namun kelestarian budaya tradisional adalah tanggung jawab kita bersama untuk melestarikannya. Tidak hanya untuk di Indonesia, dari negara mana pun Anda berasal, nilai-nilai luhur sebuah budaya asli daerah patut dipertahankan, sehingga dunia ini akan semakin indah dan beragam.


Nah kesimpulan yang saya dapat adalah, kebudayaan itu sangat penting untuk suatu negara. Banyak orang yang lupa dan tidak tahu pentingnya menjaga kebudayaan sendiri seakan kita menghasilkan budaya baru yaitu (budaya) melupakan budaya sendiri.


Oleh : ZULFAHRI
Mahasiswa: IAIN MALIKUSSALEH 
JURUSAN: komunikasi fakultas: FUAD (Fakultas Ushuluddin dan Dakwah)
Bagikan:
KOMENTAR