Usut Pabrik Kakao Terlantar di Aceh


Kamis, 23 Maret 2017 - 08.37 WIB


KUTACANE – Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) mendesak penegak hukum untuk mengusut pembanggunan pabrik kakao yang belum difungsikan dan dibiarkan terlantar di Kabupaten Aceh Tenggara.


"Katanya terakhir, pabrik pengolahan kakao tersebut mulai difungsikan pada tahun 2015. Tapi hingga kini bangunan itu cuma jadi pajangan," ucap Sekretaris LIRA Aceh Tenggara, Suharto Selian di Kutacane, Rabu. Dia mengutarakan, pembangunan pabrik pengolahan kakao atau coklat tersebut berada di pinggir jalan lintas Kutacane-Blangkejeren atau tepatnya di Desa Kumbang Indah, Kecamatan Badar. Bangunan gedung permanen pabrik ini mulai dikerjakan pada tahun 2010 sampai 2015 dengan menyedot APBK Aceh Tenggara dan APBA Provinsi Aceh hingga miliaran rupiah. Pabrik pengolahan biji coklat tersebut adalah milik Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Aceh Tenggara.


"Informasi terakhir dana yang digelontorkan untuk pembangunan pagar sekitar Rp400 juta lebih. Ini jadi temuan dan dibidik Kejati Aceh. Sebab, Kejari Kutacane telah memeriksa beberapa orang pejabat daerah ini," katanya. Pihaknya meminta pada Kejati Aceh untuk melanjutkan ke tahap penetapan tersangka beberapa pejabat terkait, karena hingga awal tahun ini proyek pembangunan terkesan ditelantarakan dan mubazir.


"LIRA minta bupati Aceh Tengggara saat ini, bertanggungjawab atas apa yang terjadi di pabrik pengolahan coklat itu. Karena beliau sebagai pelopor utama berdirinya pabrik ini," terangnya. Sultan Siregar, Sekretaris Disperindag Kabupaten Aceh Tenggara pada tahun 2012 mengatakan, pabrik coklat tersebut dibangun untuk memproduksi fasta cokelat, dan berbagai menu makanan ringan serta alat kosmetik.


Seperti diketahui data dinas terkait tahun 2015 menyebut, luas lahan tanaman kakao mencapai 19.994 hektare dengan jumlah produksi 8.843 ton per hektare per tahun, dan hasil produktifitas 13.384 kilogram per hektare per tahun. Namun, lanjut Sultan, pabrik pengolahan itu belum bisa berfungsi karena terbatasnya pasokan listrik dari PLN, sehingga tidak sesuai dengan kapasitas.


"Menambah daya listrik, butuh biaya cukup yang besar. Kami belum memiliki biaya, sehingga belum bisa dioperasikan," tuturnya.


"Tidak hanya itu, para tenaga ahli yang mampu untuk mengoperasikan mesin pengolahan coklat ini juga belum ada hingga kini," tegas Sultan. [ant/harian88]
Bagikan:
KOMENTAR