Melonjaknya harga pangan tak buat petani dan pedagang untung


Jumat, 24 Februari 2017 - 10.18 WIB


JAKARTA - Melonjaknya sejumlah harga komoditas pangan, seperti cabai, daging atau gula pasir disebut tidak membuat petani atau peternak menangguk untung besar. Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (DPP Asparindo), Joko Setiyanto mengatakan, paling tinggi pedagang eceran hanya mengambil untung 15 persen. Jika tidak jeli mengikuti perubahan harga, pedagang malah bisa merugi.


Joko memastikan melonjaknya harga cabai, beras atau gula pasir bukan dinikmati oleh pedagang. Dia menuding para tengkulak yang menangguk untung besar. "Mestinya Bulog cepat turun tangan dengan cara mengintervensi pasar sehingga harga bisa stabil," ujarnya di Jakarta, Jumat (24/2).


"Tugas Bulog bukan mencari untung tapi menstabilkan harga pasar," tambahnya.


Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI) Soemitro Samadikoen melihat adanya persoalan pola tanam yang membuat harga naik. "Ada beberapa daerah surplus, daerah lain kekurangan, dan langkah Kemendag mendatangkan barang kebutuhan pokok dari sejumlah daerah surplus sudah tepat," ujar Soemitro.


Menurut Soemitro, persoalan tingginya disparitas harga dari petani ke konsumen juga bukan semata karena panjangnya rantai distribusi. Dia menyebut sejumlah masalah seperti maraknya praktik pungli, faktor cuaca, transportasi dan tata kelola pertanian nasional yang memaksa petani menaikkan harga jual, tapi tidak otomatis menguntungkan petani.


"Jika Bulog cepat tanggap, kisruh pasokan dan harga pangan bisa diredam."


Soemitro juga mengkritik kebijakan toko tani yang belum sampai ke pedesaan. "Apakah petani kecil yang produksi 1-2 ton sanggup menanggung ongkos kirim ke toko tani di perkotaan?" tanya Soemitro.


Maraknya pungli juga diamini Ketua Kelompok Tani Mekar Bakti Cilamaya Girang, Subang Wasim Sabarudin. Menurutnya, setiap tiba musim panen, sejumlah oknum preman berbaju LSM turun ke desa memeras petani dengan berbagai alasan.


"Petani itu banyak diserang dari darat, air dan udara. Kalau dari darat misalnya keong, kalau udara bisa dari burung belum lagi tambah tikus. Makanya kalau di Jakarta mahal karena kami sebagai petani juga banyak anggaran tambahan," jelasnya.


Kondisi ini semakin rumit dengan tidak adanya generasi penerus yang ingin turun ke sawah. Kebanyakan anak-anak muda memilih menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan penghasilan yang lebih menggiurkan dibandingkan menjadi petani.


"Tenaga kerja sudah sulit, artinya banyak yang keluar negeri karena sekarang uang asing udah bisa buat belanja. Jadi ini mengurangi tenaga kerja," tutur Wasim.


Menurut Wasim, masalah SDM ini selain menyebabkan produktivitas pertanian menurun juga menyumbangkan kenaikan biaya produksi pertanian secara signifikan. [Merdeka]
Bagikan:
KOMENTAR