Calon Dirut Bank Aceh Dari Luar Masyarakat Aceh, Setujukah Wakil Rakyat Aceh?


Selasa, 31 Januari 2023 - 00.10 WIB



Oleh : Tarmidinsyah Abubakar (Good Fathers)


Calon Dirut Bank Aceh berasal dari warga masyarakat diluar Aceh menjadi polemik yang tajam selama ini dalam bahasan para tokoh di Aceh.


Sayangnya para pimpinan partai politik di Aceh seperti tidak ambil peduli dengan polemik tersebut, bahkan mereka menganggap tidak penting tentang sikapnya yang sangat dibutuhkan rakyat.


Beredar dalih dari organisasi seperti DPD Apindo Aceh bahwa selama ini bank Aceh dengan Dirut dari masyarakat Aceh sendiri tidak nemberikan kredit untuk mereka. Kemudian ada opini juga yang menyebut bank Aceh sebagai bank keluarga.


Sebenarnya dalih ini kurang beralasan, karena apa?

Tentu saja jika organisasi Apindo tidak diberikan kredit oleh bank tersebut maka ada persiapan data yang diajukan. Misalnya ada pengusaha yang ditolak proses kreditnya maka mereka juga harus membetitahukan kepada masyarakat dengan data yang sesungguhnya tidak perlu berbicara dengan statement omong kosong (talk Nonsense).


Demikian juga jika ada pengusaha yang dirugikan silakan disampaikan kepada publik, melalui media apa saja yang penting substansinya terpenuhi dan sampaikan ke masyarakat.


Ada indikasi banyak para pengusaha sendiri yang tidak memenuhi syarat dalam memperoleh kredit di bank Aceh yang bekerja secara profesional. Coba di pantau apakah sedikit kredit bagi pengusaha dan politisi yang akhirnya menunggak dan tidak mampu mereka tutup uang bank dimaksud.


Lalu, kenapa pada rekruitment pertama calon Dirut Aceh pada tidak memenuhi standar yang diharapkan oleh pelaku seleksi calon Dirut bank Aceh? Soal ini kita tidak pernah tahu, karena mekanisme kelulusan mereka para calon tersebut juga tidak terbuka kepada publik.


Hal ini menjadi suatu tanda tanya, seperti ada peluang rekayasa yang kemudian oleh PJ. Gubernur digunakan untuk menentukan teman sekolahnya yang berasal dari luar masyarakat Aceh sebagai Dirut Bank Aceh yang diyakini memiliki kemampuan melebihi masyarakat Aceh tersebut.


Beberapa rilis media yang dipublis tentang perkembangan perekonomian Aceh yang lemah hanya berkisar diangka 2,66 persen adalah rilis yang sengaja di publis untuk meyakinkan publik bahwa peran bank Aceh dalam perekonomiannya Aceh yang sama sekali berarti.


Padahal menurut saya, perkembangan ekonomi Aceh adalah tugas pemerintah dalam menggunakan uang APBA dan APBK sebagaimana idealnya menempatkan pada skala prioritas untuk  menumbuhkan semangat kreatifitas dan produktifitas masyarakat dalam mengembangkan usahanya. 


Lalu pertanyaannya, sudahkah dana APBA dan APBK digunakan sebagaimana idealnya untuk mengangkat perekonomian masyarakat?


Menurut saya APBA dan APBK Aceh lebih tertuju pada sasaran semangat bantuan sporadis pada sasaran bantuan masyarakat dalam konstituen pemilih wakil rakyat dan calon pemilih wakil rakyat serta pemilih kepala daerah yang akan datang. 


Berikutnya kepada siapa bantuan sasaran sebahagian besar uang negara tersebut? 


Tidak lain adalah kepada para kader partai yang dipasung untuk mesin uang oleh para anggota DPRA dan DPRK kita diseluruh Aceh dan ditambah APBN untuk Aceh yang juga sekalian untuk membuat pagar dan ikatan pemilih DPR dan Kepala Daerah di masa akan datang.


Berikutnya, apa yang sesungguhnya kita sebagai masyarakat Aceh terhadap kondisi ekonomi Aceh menjadi provinsi termiskin di Aceh?


Jawabannya adalah Social Thinking (Pemikiran Sosial) dan Managemen Pemerintah dalam pembangunan, Political Will serta peran dan fungsi pejabat pemerintah yang dipilih rakyat dengan berbagai jabatan dan gaji oleh uang negara.


Pertanyaannya, adakah semua yang diharapkan kepada elemen tersebut mempengaruhi rakyat dan mendidik rakyat dalam pengembangan indeks sumber daya manusia Aceh yang lebih baik dengan kemampuan mereka dalam pembangunan ekonomi masyarakat Aceh.


Jika penggunaan uang hanya berkisar untuk bantuan sporadis kader partai masih berjalan sebagaimana selama ini maka harapan pembangunan ekonomi rakyat Aceh tidak perlu dibicarakan, karena semua uang negara yang beredar adalah hanya sebatas bantuan kepada sebahagian orang yang tidak mungkin menjadi sumber penggerak ekonomi masyarakat. Maka konsep dana aspirasi dewan adalah konsep pemiskinan rakyat Aceh secara masif.


Apalagi uang aspirasi tersebut mencapai angka yang signifikan dalam anggaran Aceh belanja rakyat Aceh dan jika sebagaimana biasa dominannya uang tersebut maka terminologinya yang paling sesuai adalah uang untuk menetapkan status quo dalam jabatan pemerintah, yakni uang rakyat untuk kontrak lima tahunan para wakil rakyat.


Lalu sejauhmana peran dan fungsi bank Aceh dalam membangun perekonomian rakyat Aceh?


Jawabannya tentu saja dalam kapasitas yang kecil karena pendidikan jiwa kewirausahaan rakyat sangat minim bahkan hampir tidak ada sama sekali karena batuan sporadis kepada masyarakat sasaran lebih diprioritaskan untuk bantuan pemenuhan kebutuhan mendasarnya seperti kebutuhan rumah tangganya.


Sementara lebih setengah dana bantuan sporadis tersebut akan jatuh ketangan para pejabat tersebut sebagaimana beaya siswa yang dipotong hingga 50 persen pada penerimanya.


Lantas, apakah dengan sistem pendidikan rakyat seperti itu oleh pejabatnya, maka timbul pertanyaan. Apakah rakyat Aceh sebagai pengguna Bank Aceh secara dominan sehingga kita boleh tersangkakan Bank Aceh sebagai tangan yang membangkrutkan ekonomi masyarakat Aceh.


Anehnya Bank Aceh justru menjadi bank terbaik dalam level bank daerah bahkan bank BPD provinsi lain berguru ke Bank Aceh.


Lalu, jika harus mengambil orang luar Aceh untuk mengelola bank Aceh, maka tidak salah kalau ada yang mengatakan bahwa kebijakan itu sebagai tamparan bagi masyarakat Aceh.


Sekarang untuk memudahkan kita ingin melihat bagaimana sikap para legislatif baik DPR RI, DPD RI, DPRA, terhadap bank Aceh dimaksud untuk pembangunan otonomi khusus dan mengawal marwah dan harga diri rakyat Aceh.


Kita perlu mendengar suara mereka, dan yang perlu dipahami oleh rakyat Aceh bahwa para penulis dan juru tinta akan kita saksikan peran mereka untuk kecerdasannya dalam meminta tanggapan dan sikap mereka terhadap bank Aceh yang sedang disandera di altar penghakiman.


Untuk menjaga nama baik PJ. Gubernur Aceh menurut hemat saya butuh kebijakan baru untuk membuka kembali rekruitmen calon Dirut Bank Aceh dimaksud, karena tidak baik perencanaan yang terekayasa dilanjutkan.


Kita patut memberi apresiasi kepada wartawan yang melakukan wawancara atau menanyakan sikap pejabat yang kita pilih, dan kita ingin melihat bagaimana peran pejabat kita dalam mengawal kepentingan rakyat dan menjaga nama baik rakyat Aceh dalam kepemimpinan bank.


Karena selama ini terpantau juga bahwa aktivitas mereka dalam kebijakan yang termasuk dalam kebijakan pembenaman rakyat Aceh dalam kecenderungan pada keterpurukan sosial. Karena itu maka jangan heran rakyat Aceh menjadi miskin dan tidak dihargai oleh masyarakat lain dalam berbagai bidang.


Salam


Penulis adalah pemimpin politik dan bukan pemimpin partai politik berdomisili di Aceh

Bagikan:
KOMENTAR