Jakarta - Kongres Advokat Indonesia (KAI) menilai bahwa kasus Natalia Rusli yang diduga sarat rekayasa oleh oknum aparat hukum dapat menjadi preseden buruk bagi profesi pengacara secara keseluruhan. Hal itu disampaikan Wakil Ketua KAI Bidang Pembelaan Anggota, Bantuan Hukum dan HAM, Advokat Aldwin Rahadian, S.H., M.H., kepada media ini usai mendatangi Komisi Kejaksaan Republik Indonesia beberapa waktu lalu.
"Ada kesan bahwa kasus Natalia ini merupakan kriminalisasi advokat, karena yang dipersoalkan adalah hubungan antara Natalia Rusli dengan klien-nya. Jika hal ini dibiarkan berporses hukum, maka itu akan menjadi preseden buruk bagi profesi pengacara secara keseluruhan," jelas Aldwin, 20 Oktober 2022 lalu.
Menurutnya, ketika klien diakomodir untuk mengadukan pengacaranya ke ranah pidana terkait dengan hubungan kerja antara kedua belah pihak, maka semua advokat dapat saja dipidana karena dilaporkan kliennya akibat hasil pendampingan hukum tidak sesuai harapan klien. "Padahal, profesi advokat itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat. Dalam Pasal 21 ayat (1) UU 18/2003 menerangkan bahwa advokat berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang telah diberikan kepada kliennya," beber Aldwin.
Oleh sebab itu, masih kata Wakil Ketua KAI ini, dirinya merasa heran terhadap oknum aparat hukum, baik di lembaga kepolisian maupun kejaksaan yang terkesan memaksakan untuk memproses kasus Advokat Natalia Rusli yang jelas-jelas ada payung hukumnya. "Natalia Rusli dilaporkan oleh kliennya dengan tuduhan melakukan penipuan dan penggelapan atas dana Rp. 15 juta yang notabene dia berikan ke Natalia sebagai honor atas jasa menjadi pengacaranya. Padahal, Natalia sudah melaksanakan tugasnya dengan baik, bahkan orang yang dilaporkan kliennya itu sudah ditetapkan tersangka dan ditahan," tutur mantan pengacara artis Ahmad Dhani ini heran.
Dalam kasus dugaan ketidakprofesionalan seorang pengacara, lanjut Aldwin, hal semacam itu semestinya diselesaikan terlebih dahulu di Dewan Kode Etik Advokat. "Semestinya aparat penegak hukum memahami dan menghormati ketentuan ini. Sama halnya di lembaga penegak hukum lainnya, misalnya terkait dugaan seorang polisi melakukan pelanggaran profesi, dia harus diproses melalui sidang kode etik, tidak langsung ke ranah pidana. Ini kriminalisasi namanya," tegasnya.
Dari penelusuran di lapangan, diketahui bahwa Natalia Rusli ditetapkan sebagai tersangka berdasar laporan yang teregistrasi di nomor LP/B/3677/VII/2021/SPKT/POLDA METRO JAYA pada tanggal 30 Juli 2021. Dalam laporan itu Natalia Rusli dituduh melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHP tentang penggelapan, dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan oleh Unit Harda Polres Jakarta Barat.
Natalia Rusli akhirnya mengadukan nasibnya ke DPP KAI, organisasi advokat yang menaunginya. Setelah dipelajari dan dikaji, KAI berpendapat adanya dugaan kriminalisasi terhadap advokat Natalia Rusli. Tuduhan yang ditimpakan terhadap Natalia terkait erat dengan perannya dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai kuasa hukum.
"Hubungan klien dan advokat, klien dan kuasa hukumnya mengenai soal fee atau janji ada di Undang-Undang Advokat Nomor 18 tahun 2003 dan kode etik advokat. Juga, perkara hubungan kuasa hukum dan klien tidak masuk ranah pidana, tapi masuk dalam wilayah perdata," terang Aldwin.
Kerja advokat, demikian Aldwin, dilindungi oleh Undang-Undang yang di dalamnya ada hak imunitas advokat seperti tercantum dalam Pasal 16 UU Advokat No 18/2003 jo putusan Mahkamah Konsitusi No 26-PUU-XI/2013. "Penetapan tersangka pada Natalia adalah pelanggaran hak imunitas advokat dan indikasi kriminalisasi. Advokat dalam menjalankan tugasnya tak bisa dituntut secara pidana maupun perdata baik di luar maupun dalam pengadilan," imbuh Aldwin menutup pernyataannya. (APL/Red)