Blok B, bisnis atau marwah?


Minggu, 01 November 2020 - 00.09 WIB






OKTOBER ini, opini dukungan kepada Pemerintah Aceh (PT. PEMA) untuk mengambil alih pengelolaan Blok B dari Pertamina, menguat. Pemkab. Aceh Utara yang seolah ditinggal Kapal pun menunjukkan ekspresi ekstrim, menjadi cinta, dan menggebu hendak ikut penyertaan saham 30 %.


Sejak awal, pro dan kontra muncul, pun demikian, tidak penting menyoal personal atau kelembagaan yang aktif atau reaktif menyuarakan pro atau pun kontra, ataupun yang sesekali pro, sesekali kontra, tidak penting. Yang penting adalah menulusuri alasan kedua sisi dari yang Pro dan Kontra.


Sejak awal, ayunan isu ‘Blok B di Aceh Utara’ cukup menyita perhatian khalayak umum. Berbagai kekhawatiran yang mulanya muncul pun cukup beralasan, salah satunya dimuat dalam surat kabar terbitan Sumatera Utara editorial berjudul Gonjang-ganjing Blok B, “Barang Bekas” Mobil Oil, dan adanya opsi lain yang jelas menguntungkan seperti kabar terbaru bahwa Pemerintah Aceh diminta segera setor 30 persen saham di Perta Arun Gas.


Secara bisnis, Blok B dianggap terlalu beresiko dan masih terdapat opsi lain yang jelas menguntungkan dan layak diprioritas oleh Pemerintah Aceh. Pemkab. Aceh Utara di tengah pusaran isu ini patut berhati-hati dan memiliki cukup informasi objektif serta informasi pembanding termasuk dari badan independen internasional, kalau perlu, untuk menentukan sikap jangka panjangnya terkait pertambangan gas bumi di kawasannya.


Lantas, apa alasan golongan yang Pro mendukung Pemkab. Aceh Utara harus ikut serta dalam pengelolaan Blok B? 
Alasannya adalah marwah dan sesuai amanah MoU Helsinki, baca berita berjudul Koalisi ormas peduli Blok B datangi DPRK Aceh Utara, ini tuntutannya....!


Merespon pelbagai perkembangan isu di tengah masyarakat, penulis merasa perlu mengutip dasar regulasi dana bagi hasil dari Minyak dan gas bumi. Pengelolaan Blok B tidak berpengaruh pada skema bagi hasil pertambangan minyak dan gas bumi untuk Aceh, kecuali Undang-Undang tentang pemerintahan Aceh sudah tidak berlaku lagi. Dana bagi hasil berbeda dengan dana otonomi khusus.


Sumber Penerimaan dan Pengelolaan Aceh pada Bagian Kedua pasal 179 dalam Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh No. 11 Tahun 2006, bersumber dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus, dan lain-lain pendapatan yang sah. Dana Perimbangan berbeda dengan Dana Otonomi Khusus yang pada pasal 183 ayat (2) disebutkan berlaku untuk jangka waktu 20 tahun (limited) dimulai pada 2007 setelah UUPA diundang-undangkan pada Agustus 2006, dan akan berakhir pada tahun 2027.


Sedangkan pada pasal 181, Dana Perimbangan yang tidak berjangka waktu (unlimited) terdiri dari, Dana bagi hasil pajak, Dana bagi hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam lain, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Pasal 181 ayat 1 huruf b, disebutkan pada point (5) bagian dari pertambangan minyak sebesar 15%, dan (6) bagian dari pertambangan gas bumi 30%. Pasal 181 ayat (3) Aceh mendapat tambahan dana bagi hasil minyak dan gas bumi, dari pertambangan minyak 55%, dan pertambangan gas bumi sebesar 40%. Jumlah penerimaan Aceh dari dana perimbangan sumber dari pertambangan Minyak adalah 70%, dan dari pertambangan gas bumi 70%. 
Patut dibandingkan, tidak seperti isu perpanjangan kontrak pengelolaan pertambangan emas di Papua yang menyeret nama pemerintahan Amerika dan Tiongkok, Blok B yang dulunya tidak kalah seksi dari emas Papua, justeru sekadar menjadi polemik di tingkat lokal.


Istilah “Hanya pemain yang akan mendapat keuntungan dari sebuah permainan,” seharusnya mengajari kita banyak hal terkait isu pertambangan Minyak dan Gas bumi. Nah, Migas sebagai mainan Global bagi negara-negara industri yang kuat di Dunia bahkan kerap dikaitkan dengan perang (konflik) di kawasan baru temuan Migas. Sungguh sangat wow dan wah. Tapi Pemerintah Aceh membiarkan Pertambangan Minyak di Aceh Timur tanpa satu persenpun saham, dan terbaru seolah oke-oke saja tanpa melakukan persiapan ketanagakerjaan atau kerja sama-kerja sama lainnya terkait dengan pertambangan di Blok Andaman II yang akan kembali dikelola oleh perusahaan asing seperti Blok B dulu.


Di Aceh, ada banyak sekali lokasi pertambangan termasuk hidrokarbon, seperti Emas di Beutong, Batu bara di Meulaboh, panas bumi seulawah dan lain sebagainya. Tapi kenapa pilihannya ke Blok B? Masih sangat mencemaskan dan membuat hati berdebar.




Penulis Andi Saputra Pemerhati Besi Bekas Pertambangan Blok B
Bagikan:
KOMENTAR