Bandar Narkoba Jadikan Aceh sebagai Pasar


Kamis, 17 Januari 2019 - 18.56 WIB


LHOKSUKON - Perang terhadap narkoba harus dimulai dari rumah tangga. Dari sini, semua bergerak hingga ke masyarakat dan komunitas yang lebih besar. Dengan demikian, tak ada celah bagi para pengedar untuk masuk dan menggerogoti anggota keluarga.


“Kita harus memandang narkoba seperti kita memandang sebuah produk yang menyasar konsumen. Demikian para bandar menganggap kita. Kita adalah pasar,” kata pemerhati sosial Aceh Utara, Yuchandra (16/1). “Karena itu, proteksi harus dilakukan dengan cara memberikan pemahaman kepada anggota keluarga. Merangkul dan berbicara. Buatlah waktu sebanyak mungkin dengan keluarga.”


Selama ini, kata Yuchandra, akar keluarga mulai banyak yang tercabut. Termasuk tradisi-tradisi yang diajarkan endatu tentang kehidupan berumah tangga, berkeluarga dan bermasyarakat. Bahkan di desa-desa, orang tua tak lagi menganggap penting waktu yang dihabiskan bersama-sama dengan anak mereka, atau sebaliknya.


Budaya magrib mengaji, menghabiskan waktu di akhir pekan ke tempat-tempat tertentu, atau sekadar makan siang bersama, kata Yuchandra, adalah cara yang efektif untuk saling menjaga di antara anggota keluarga. Tak perlu pergi ke tempat mewah, yang terpenting adalah membawa hati masing-masing anggota keluarga untuk terus bersama.


Saat berdekatan, kita, kata Yuchandra, dapat merasakan perubahan perilaku orang-orang terdekat. Sekecil apapun perubahan akan dirasakan oleh anggota keluarga yang lain. Membekali anak-anak dengan pengetahuan dan keterampilan juga penting agar mereka merasa berdaya tanpa harus menggunakan narkoba.


“Orang yang mengonsumsi narkoba itu adalah orang yang rendah diri. Mereka merasa membutuhkan bantuan dari zat terlarang padahal sebenarnya mereka memiliki potensi besar. Dan itu tak akan muncul saat mereka mengonsumsi narkoba. Yang muncul adalah perasaan senang yang berlebihan dan itu akan menyusut seiring berkurangnya pengaruh zat narkoba dalam darah,” kata Yuchandra.


Dari sisi kebijakan, pemerintah sebenarnya memiliki banyak regulasi dan lembaga untuk memberantas peredarannya. Namun karena lemahnya penegakan hukum, terutama terhadap para bandar narkoba, peredaran barang terlarang dan berbahaya ini semakin masif. Bahkan saat ini, banyak anak-anak sekolah dasar yang kecanduan narkoba.


Mereka, kata Yuchandra, benar-benar menjadi pasar karena para bandar dan pengedar mulai kesulitan menghabiskan stok barang yang terus masuk melalui jalur tikus di sepanjang perairan Pasee dan Aceh Timur. Parahnya lagi, ada oknum penegak hukum yang menjadi bagian dari para mafia narkoba.


Sementara dari darat, para bandar yang tertangkap terus mengendalikan bisnis mereka dari dalam lembaga pemasyarakatan. Mereka dengan jeli memanfaatkan kelemahan para petugas negara untuk membiarkan, bahkan membantu, mengedarkan narkoba.


Peran panti rehabilitasi pun tidak maksimal karena dana yang minim. Negara, kata dia, tidak akan sanggup menyubsidi para pengguna narkoba, terutama sabu-sabu dan ganja, yang terus bertambah.


“Adalah peran kita sebagai anggota masyarakat untuk melawan dari elemen terkecil dalam masyarakat, yakni keluarga. Melindungi mereka, memberikan pemahaman tentang bahaya narkoba, dan mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada seluruh anggota masyarakat akan sangat membantu di saat negara kewalahan melawan peredaran narkoba. Kedengarannya klise, tapi rasa peduli ini yang harus ditumbuhkan kembali di masyarakat kita,” kata Yuchandra.***
Bagikan:
KOMENTAR