Hukum anak tiri


Jumat, 26 Mei 2017 - 09.24 WIB


Hukum di Indonesia timpang sebelah atau dalam tanda kutip "Tajam ke bawah dan Tumpul ke atas" maksud dari istilah tersebut adalah salah satu sindiran nyata bahwa keadilan di negeri ini lebih tajam menghukum masyarakat kelas menengah. Coba bandingkan dengan para koruptor yang notabene adalah para pejabat kelas ekonomi ke atas, mulai dari tingkat anggota DPRD hingga para mantan menteri juga terjerat dengan kasus korupsi.


Penegakan hukum berbagai kasus di negeri ini acap kali mengingkari rasa keadilan yang menyengsarakan masyarakat, diskriminasi hukum kerap dipertontonkan aparat penegak hukum. Banyak kasus yang terjadi di Indonesia, mulai dari yang bersifat sepele sampai dengan yang bertaraf tinggi dan perlu diproses secara ketat. Khususnya untuk yang bersifat sepele, tidak sedikit para pelakunya adalah 'wong cilik' yang buta akan hukum dan akhirnya menjadi bulan-bulanan di pengadilan karena ketidaktahuannya dan juga faktor lain, walaupun aksi kejahatannya dapat dikatakan sangat ringan.


Namun tidak sedikit pula para penjahat kelas kakap dapat melenggang tanpa beban atau juga sudah dipenjara namun masih dapat bebas melakukan aktivitasnya. Berikut ini adalah beberapa kasus di Indonesia dengan terdakwa masyarakat kaum bawah yang menurut banyak orang sangat menggelikan.


Ketika berhadapan dengan orang yang memiliki kekuasaan, baik itu kekuasaan politik maupun uang, maka hukum menjadi tumpul. Tetapi, ketika berhadapan dengan orang lemah, yang tidak mempunyai kekuasaan dan sebagainya. Hukum bisa sangat tajam.


Keadilan "hukum" bagi kebanyakan masyarakat seperti barang mahal, sebaliknya barang murah bagi segelintir orang. Keadilan hukum hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kekuatan dan akses politik serta ekonomi saja.


Beberapa kasus Hukum di Indonesia yang "Terkesan Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas"


Mengambil kain lusuh – tuntutan 5 tahun


Seorang buruh tani berusia 19 tahun bernama Aspuri harus berurusan dengan hukum karena memungut sebuah kaus lusuh di pagar rumah tetangganya.


Sang pemilik kaus akhirnya melaporkan Aspuri ke pihak kepolisian dengan tuduhan pencurian. Padahal sebelumnya, pembantu pemilik rumah sudah menyatakan bahwa memang dia sengaja membuang kaus tersebut karena sudah tidak terpakai.


Dikarenakan hal ini, Aspuri harus mendekam di sel Rumah Tahanan Kota Serang, Banten selama 3 bulan sambil menunggu keputusan pihak pengadilan. Dia terancam hukuman penjara selama 5 tahun maksimal.


Mencuri 7 batang kayu jati berukuran 15 cm – tuntutan 5 tahun


Nenek Asyani yang diduga mencuri 7 batang katu jati milik Perum Perhutani. Menurut wanita tua dari Situbondo, Jawa Timur tersebut, kayu jati itu dulunya ditebang oleh almarhum suaminya dari lahan mereka sendiri yang kini telah dijual. Namun, pihak Perhutani tetap mengatakan bahwa kayu jati itu berasal dari lahan milik mereka dan bersikeras memperkarakan ulah Nenek Asyani itu.


Dikarenakan hal ini, sejak bulan Juli – Desember 2014, Nenek Asyani mendekam di dalam penjara untuk menunggu proses persidangan. Pihak pengadilan memberikan ancaman maksimal 5 tahun  penjara.


Menebang pohon mangrove – 2 tahun + denda 2 miliar


Seorang pria yang sudah lanjut usia bernama Busrin ini akan berhadapan dengan hukum dan mendapatkan hukuman selama 2 tahun penjara serta denda Rp 2 miliar atau subsider 1 bulan kurungan karena kedapatan menebang pohon mangrove untuk dibuatnya sebagai bahan bakar memasak.


Penjual petasan – tuntutan 5 bulan


Wanita berusia lanjut bernama Meri, asal Tegal, Jawa Tengah harus berurusan dengan hukum karena kedapatan menjual petasan di rumahnya sendiri. Nenek Meri sendiri tidak mengetahui bahwa menjual petasan tersebut dilarang karena sejak pemerintahan Presiden Soekarno, dia sudah menjualnya dan baru kali ini terjerat hukum.


Dikarenakan hal ini, pihak Pengadilan Negeri Tegal menuntu Nenek Meri dengan hukuman 5 bulan penjara dan 10 bulan masa percobaan. Setelah menjalani sidang lanjutan, pada akhirnya Nenek Meri hanya dijatuhi hukuman penjara selama 3 bulan dengan masa percobaan 6 bulan.


Kasus pengadaan alat kesehatan


Ratu asal Banten Sang gubernur terjungkal kasus pengadaan alat kesehatan dan dugaan suap terkait penanganan sengketa pilkada Lebak, Banten. Politisi muda Golkar ini dovinis empat tahun penjara.


Kasus suap cek pelawat buat anggota DPR


Miranda S. Goeltom perempuan ambisius yang sudah malang melintang di Bank Indonesia ini resmi menjadi tersangka pada Januari 2012 dalam kasus suap cek pelawat buat anggota DPR. Duit tersebut dikucurkan selama berlangsungnya pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Periode 2004. Miranda kemudian divonis menginap tiga tahun di balik jeruji besi.


Penyalah gunaan uang YLPPI


Burhanuddin Abdullah, bekas Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tipikor karena menggunakan dana milik Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (YLPPI) senilai Rp 100 miliar untuk bantuan hukum lima mantan pejabat BI, penyelesaian kasus BLBI, dan amandemen UU BI. Ia divonis lima tahun penjara.


Fenomena ketidakadilan hukum ini terus terjadi dalam praktik hukum di negeri ini. Munculnya berbagai aksi protes terhadap aparat penegak hukum di berbagai daerah, menunjukkan sistem dan praktik hukum kita sedang bermasalah.


Akibatnya, penegak "hukum" hanya menjadi corong dari aturan. Hal ini tidak lain adalah dampak dari sistem pendidikan hukum yang lebih mengedepankan positifisme. Penegak hukum seperti memakai kacamata kuda yang sama sekali mengesampingkan fakta sosial.


Inilah yang menjadi problema dalam kasus seperti ini jangan sampai terulang kembali kejadian dalam kasus ini sangat kontroversi, dan menyengsarakan masyrakat yang tentunya dipertanyakan bahwa di manalah keadilan bagi "wong cilik". Masyarakat sering tidak percaya dengan proses hukum, nantinya masyarakat akan melihat bahwa dalam melihat proses penegakan hukum ini bisa melihatnya dengan keadilan.


Untuk itu diperlukan penegak hukum yang berintegritas dan berkomitmen tinggi untuk melakukan penegakan hukum khususnya dalam upaya pemberantasan korupsi. Artinya polisi, jaksa, dan hakimnya juga harus benar-benar bersih terutama pimpinannya. Jangan sampai kejadian tahun perseteruan KPK vs Polri terulang lagi. Karena penegak hukum yang bersih merupakan modal yang sangat kuat dalam penegakan hukum yang didambakan. Ibaratnya menyapu ruangan yang kotor tentulah dengan sapu yang bersih.


Seharusnya, ketika ada kasus hukum kita bisa melihat dengan cara yang matematis. Perbuatannya apa, bagaimana prosesnya, bagaimana proses pembuktiannya, bagaimana keputusannya. Kalau ini diterapkan, proses penyelesaian hukumnya pasti berjalan dengan baik.


Nah kesimpulan yang saya dapat adalah, praktik-praktik penegakkan hukum yang berlangsung, meskipun secara formal telah mendapat legitimasi hukum (yuridis-formalistik), namun legitimasi moral dan sosial sangat lemah.


Oleh: Zulfahri
Mahasiswa: IAIN Malikussaleh
Jurusan: Komunikasi FUAD (Fakultas Ushuluddin dan Dakwah)
Bagikan:
KOMENTAR