JPU: Eks Kepala BPPN Klaim Megawati Setujui Penghapusan Utang BDNI


Senin, 03 September 2018 - 14.59 WIB


Jakarta - Jaksa Penuntut Umum KPK memaparkan perbuatan pidana Eks Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung dalam sidang tuntutan. Jaksa menyebut Syafruddin mengklaim Presiden Megawati Soekarno Putri menyetujui penghapusan utang BDNI kepada petani tambak yang dijamin PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM). 

Jaksa mengatakan, awalnya Syafruddin mengusulkan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang diketuai Dorojatun Kuntjoro Jakti terkait penghapusbukuan utang petambak unsuistainable. Merespon hal itu, Dorojatun meminta Syafruddin menyampaikan di dalam Ratas pada 11 Februari 2004.

Kemudian di dalam Ratas, Syafruddin mengusulkan penghapusan utang sebesar Rp 2,8 triliun dari total utang petambak Rp 3,9 triliun. Namun Syafruddin tidak melaporkan adanya misrepresentasi penyampaian utang BDNI. 

"Selanjutnya di Ratas Februari 2004 terdakwa melaporkan ke Presiden Megawati diantaranya utang petambak Rp 3,9 triliun. Utang yang bisa dibayar Rp 1,1 triliun sisanya Rp 2,8 triliun diusulkan di hapus bukukan. Terdakwa juga menyampaikan kemungkinan untuk penghapus bukuan di BPPN. Namun tidak melaporkan aset berupa hutang petambak yang diserahkan SN terdapat misrepresentasi saat diserahkan ke BPPN," ujar JPU KPK, I Wayan Riana, dalam uraian analisa yuridisnya saat membaca tuntutan, di Pengadilan Tipikor, Jl Bungur Raya, Jakarta Pusat, Senin (3/9/2018). 

Dalam Ratas itu Presiden Megawati tidak memutuskan penghapusbukuan utang tersebut. Namun sehari setelahnya, Jaksa menyebut Syafruddin tetap menandatangani ringkasan eksekutif yang diusulkannya dalam Ratas. Padahal Syafruddin mengetahui tidak ada keputusan soal penghapusan itu. 

"Padahal ratas tidak pernah mengambil keputusan untuk dilakukan penghapusan. Terdakwa mengetahui bahwa belum ada persetujuan Presiden terkait write off atau penghapus bukuan terkait utang petambak Dipasena, tapi terdakwa tetap mencantumkan bahwa usulan penghapusan atas porsi unsuistainable tambak plasma sebesar Rp 2,8 triliun tersebut adalah atas persetujuan Presiden pada ratas 11 Februari 2004," ucap I Wayan.

Selanjutnya pada 13 Februari 2004 Dorodjatun mengeluarkan keputusan menyetujui usulan Syafruddin. Dorodjatun menyetujui total utang petambak plasma sebesar Rp 1,1 triliun. 
"Pada 13 Februari 2004 Ketua KKSK Dorodjatun dengan pedoman pada usulan ringkasan eksekutif BPPN yang dimuat dan ditandatangani terdakwa selanjutnya mengeluarkan keputusan ulang yang menyetujui nilai utang masing-masing petambak plasma ditetapkan setingginya Rp 100 juta," kata I Wayan.

"Dengan penetapan utang maksimal tersebut maka dilakukan penghapusan atas sebagian hutang pokok secara proporsional sesuai beban masing-masing utang petambak plasma dan penghapusan seluruh tunggakan bunga serta denda, dengan menetapkan nilai hutang tersebut di atas Marka total hutang petambak plasma di BPPN adalah Rp 1,1 triliun," imbuhnya.

Hingga saat ini JPU KPK masih memaparkan analisa yuridisnya dalam pembacaan surat tuntutan.

Seperti diketahui, Syafruddin didakwa merugikan negara sebesar Rp 4,5 triliun terkait BLBI. Kerugian negara itu berkaitan dengan penerbitan surat keterangan lunas (SKL) dari BPPN terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang dimiliki pengusaha Sjamsul Nursalim.

Perbuatan itu disebut jaksa KPK dilakukan Syafruddin bersama Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih S Nursalim, serta Dorojatun Kuntjoro Jakti selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Jaksa menyebut Syafruddin menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira serta surat pemenuhan kewajiban pemegang saham meski Sjamsul belum menyelesaikan kewajibannya yang seolah-olah piutang lancar atau misrepresentasi.


Sumber : detik.com
Bagikan:
KOMENTAR