Kata Saksi Ahli Dalam Sidang Praperadilan Wartawan Berita Rakyat


Selasa, 03 Juli 2018 - 07.59 WIB


SIDOARJO – Sidang lanjutan Pra Peradilan No.4/pid Pra/2018/PN SDA atas penangkapan seorang wartawan yang dilakukan Polresta Sidoarjo memasuki agenda keterangan para saksi fakta, saksi ahli pers dan saksi ahli hukum pidana, senin (2/7).


Dalam persidangan yang diketuai hakim tunggal Djoni Iswantoro SH. M.Hum di Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo, M. Sholeh selaku Kuasa Hukum wartawan Slamet Maulana alias Ade memintai keterangan para saksi diantaranya, Uzair Zamzami SH selaku Pimpinan Redaksi Media Online Berita Rakyat yang juga sebagai saksi fakta disaat terjadinya pemberitaan, Wilson Lalengke S.Pd, M.Sc, MA selaku saksi ahli pers yang juga sebagai DPN PPWI, dan Guru besar Hukum Administrasi FH Ubhara Surabaya, Prof Dr Sadjijono SH MHum selaku saksi ahli hukum pidana.


“Kejanggalan” dalam Penangkapan Wartawan


Dalam keteranganya sebagai saksi fakta, Uzair Zamzami selaku pimpinan redaksi berita rakyat pada waktu terjadinya pemberitaan menyatakan tidak tau jika terkait pemberitaan yang dianggap merugikan pihak karaoke x2 telah dilaporkan ke Kepolisian.


“Saya tidak tahu, kok tahu-tahu wartawan saya masuk (penjara). Ini kan gak lucu,” katanya saat menjadi saksi persidangan.


Anehnya, terkait berita yang dianggap mencemarkan nama baik dari pihak karaoke X2, Zamzami menegaskan, tidak pernah sama sekali mengalami pemanggilan oleh pihak Polresta Sidoarjo terlebih dahulu untuk dimintai keterangan sebagai saksi yang mengetahui.


“Tidak pernah. Tahunya ada kejadian seperti ini (penangkapan), saya juga bingung,” keluhnya di hadapan Majelis Hakim Djoni.


Dalam UU Pers, ada Hak Jawab dan Hak Koreksi


Adapun keterangan dari Wilson lalengke selaku saksi ahli profesi jurnalis sekaligus Ketua Umum Organisasi wartawan PPWI juga menerangkan untuk hak-hak hukum seseorang yang berprofesi sebagai jurnalis.


Wilson menjelaskan bahwa seseorang jurnalis saat bekerja sebagai jurnalis juga mempunyai hak perlindungan hukum sesuai Undang-undang yang mengatur tentang Pers di Indonesia.


“Iya jelas, karena setiap jurnalis itu dilindungi oleh undang-undang pers. Yaitu undang-undang nomor 40 tahun 1999,” terangnya.


Jadi di sana jelas, lanjutnya, dikatakan bahwa jurnalis itu adalah sekelompok orang yang bekerja di bidang jurnalistik yaitu mencari, mengumpulkan, dokumentasi/menyimpan, mengolah dan mempublikasikan setiap informasi yang ada di masyarakat maupun di dalam pemikiran sebagai aspirasi dan keinginan sesuai rumus penulisan 5W 1H.


“Jadi perlindungan hukum terhadap jurnalis di bawah undang-undang nomor 40 tahun 1999. Tanpa melihat dia (jurnalis) diakui atau tidak diakui oleh dewan pers,” jelas Wilson.


Wilson juga mengatakan, jika terkait adanya kerugian masyarakat atas pemberitaan. Ada tahapan-tahapan yang wajib diselesaikan melalui mediasi terlebih dahulu. dan tidak dibenarkan secara langsung melaporkan ke pihak kepolisian dan langsung ditangkap.


“Menurut sepengetahuan saya tidak benar. Dan kita menentang hal itu yang disebut diskriminasi dan kriminalisasi terhadap jurnalis, marilah kita kembali ke Undang-undang nomor 40 tahun 1999. Mekanismenya adalah hak jawab dan hak koreksi. Disitulah jika ada para pihak yang merasa dirugikan,” imbuhnya.


Wilson juga mengecam keras jika ada permasalahan terkait adanya pihak yang merasa dirugikan terhadap pemberitaan kemudian dilakukannya penangkapan seorang wartawan oleh pihak kepolisian tanpa mekanisme melalui hak jawab dan hak koreksi yang mengacu dalam undang-undang pers.


“Secara tegas saya mengatakan itu salah. Polisinya yang harus diproses dan dilaporkan ke Propam karena melakukan pelanggaran peraturan dalam penegakan hukum. Karena prosesnya bukan seperti itu. Lihat Undang-undang nomor 40 tahun 1999,” tutup ketua PPWI yang telah menggugat PMH terhadap Dewan Pers ini.


Penyidik Harus Profesional


Selain itu, sebagai saksi ahli pidana, Prof. Dr. Sadjijono menjelaskan tentang sah dan tidak sahnya dalam penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan yang dilakukan kepolisian Polresta Sidoarjo terhadap seorang yang berprofesi jurnalis.


“Dalam hal prosedur penetapan seorang tersangka menjadi suatu bagian teknis dalam penyidikan oleh pihak kepolisian,” kata Profesor.


Dalam teknis penyidikan, lanjutnya, kepolisian harus berpijak pada Peraturan Kapolri (Perkap) nomor 14 tahun 2012. Terkait dengan management penyidikan tindak pidana.


“Cara-cara teknis itu merupakan bagian yang melekat pada profesionalismenya seorang penyidik. Ketika tidak sesuai dengan teknis penyidikan, terlebih lagi bertentangan dengan sesuatu peraturan yang telah menjadi dasar menetapkan tersangka. Maka ini masuk kualifikasi tidak profesional,” imbuhnya.


Kalau seharusnya ada pemanggilan terlebih dahulu untuk dimintai keterangan sebelum ditetapkan tersangka, namun sudah dilakukan penangkapan, secara teknis penyidik tidak profesional.


“Terkait suatu tindakan penyidik di dalam menjalankan wewenang jabatan berkaitan erat dengan profesionalismenya seorang penyidik. Karena penyidik menjalankan profesi, maka terikat adanya suatu kode etik profesi,” terangnya.


Tindakan penyidik yang menjalankan wewenang dan jabatan berdasarkan kehendak, tidak terlepas menjalankan fungsi kepolisian di bidang penegakan hukum. Terikat adanya suatu kode etik profesi.


Maka ketika (penyidik) mengambil langkah-langkah menjalankan profesi itu tidak sesuai dengan etika profesi di sinilah dinilai bertentangan. Dan di kualifikasi tidak profesional. Dalam menjalan profesi sebagai seorang penyidik. Langkah-langkah tindakan pejabat kepolisian itu terikat pada kode etik profesi. Maka disitu bisa dinilai pada kode etik ini.


Profesor juga menganggap dalam berita acara penyidikan (BAP) yang dilakukan kepolisian tidak memenuhi dan merampas haknya seseorang sebagai tersangka untuk di dampingi kuasa hukumnya dinilai cacat administrasi.


“Di sini disyaratkan dalam undang-undang. Bahwa tersangka itu diberikan hak untuk didampingi oleh penasehat hukumnya. Jadi Ini di kualifikasi sebagai cacat yuridis di dalam BAP tersebut,” ucapnya.


Profeser juga menegaskan, dalam undang-undang ITE yang di sangkakan pada tersangka oleh petugas kepolisian merupakan delik aduan.


“Bahwa undang-undang ITE itu cenderung kepada delik aduan. Jadi ada yang mengadu, dan yang mengadu yang merasa dirugikan (korban),” pungkasnya.


Perlu diketahui, persidangan pra peradilan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo dengan No.4/pid Pra/2018/PN SDA atas penangkapan seorang wartawan media online berita rakyat yang dilakukan Polresta Sidoarjo yang dikenakan pasal 45 ayat 3 dan 4 jo pasal 27 ayat 3 dan ayat 4 UURI No. 19 tagun 2016 tentang perubahan atas UURI No. 11 tahun 2008 Tentang ITE. Atas pemberitaan karaoke X2 di wilayah Sidoarjo.



Sumber: liputan indonesia
Bagikan:
KOMENTAR