Pemimpin Bermental Penjajah Membuat Aceh Sulit Berubah


Senin, 04 Mei 2020 - 18.04 WIB



Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Sistem kepemimpinan dalam suatu masyarakat sangat menentukan keberhasilan mereka untuk berkembang baik dalam menghadapi tantangan kesejahteraan maupun dalam menghadapi kesenjangan sosial serta carut marutnya korupsi ditingkat elit yakni para pimpinan masyarakat bahkan dilingkungan wakil rakyat itu sendiri.

Sebsgaimana kita ketahui bahwa Aceh berasal dari suatu kerajaan dimasa lalu dengan sistem pemerintahan sultan. Secara garis besar dapat dipastikan bahwa masyarakat dalam kesehariannya dipengaruhi oleh nilai-nilai patriniasme atau kebapakan yang juga diatur dalam kehidupan Islam. Disamping itu pengaruh ulama yang ditempatkan dalam status sosial yang setingkat lebih tinggi dari masyarakat biasa sehingga masyarakat Aceh menjadi terbiasa takzim pada gurunya. Namun ketaatan tersebut lebih terorientasi pada ajaran ilmu agama. Sementara pada bidang ilmu yang lain seperti ilmu pendidikan umum hal ini tidak terjadi sebagaimana berlaku dalam ilmu agama Islam.

Karena budaya kebapakan itu kemudian masyarakat terbiasa menyerahkan masalahnya kepada orang yang lebih dituakan. Sehingga dalam struktur kepemimpinan masyarakat di Aceh dikenal dengan Tuha Peut (Tua Empat) dan Tuha Lapan (Tua Delapan) disetiap tingkatan. Hal ini telah menjadi budaya sejak masa pemerintahan kerajaan dimasa lalu.

Berikutnya ditengah masyarakat dikenal dengan terminology gelar Teungku, Abu dan yang terakhir dimasa penjajahan Belanda ditambah dengan gelar bangsawan yang disebut dengan Teuku. Berikutnya juga ada yang disebut Sayed yang dipercaya sebagai keturunan nabi dimana mereka berasal dari tanah Arab yang nenek moyangnya datang ke Aceh dalam rangka mengembangkan agama Islam dan memilih berdomisili di Aceh. Gelar-gelar inilah yang kemudian memperkuat sistem feodal dimana masyarakat biasa akan tunduk pada pemegang gelar yang kami sebutkan sebelumnya. Penundukan tersebut terkadang terlepas dari nilai objektif apakah suatu perkara benar atau salah, sehingga gelar ini telah menyebabkan masyarakat segan dan tunduk meski tanpa diperintah sekalipun. Masyarakat biasa tentu menghindar persinggungan kepentingan dengan para begawan masyarakat dan keturunannya.

Kondisi sosial ini kemudian dipergunakan secara pragmatis dalam sistem politik memperebutkan kekuasaan ditanah Aceh yang kemudian dikenal dengan pemberontakan oleh Aceh Merdeka (AM) yang setelah itu menjadi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Hasan Tiro. Dimana banyak orang yang bergabung dan diberi gelar dengan Teungku dan Abu yang menambah mengkristalnya aroma feodalisme dalam masyarakat Aceh hingga saat ini. Pemanfaatan alat-alat feodal ini oleh Hasan Tiro tentu mudah dipahami sebagai strategy pragmatis untuk kemudahan pengorganisasian untuk kemudahan pengendalian masyarakat Aceh guna menyatukan sikap menghadapi musuh bangsa Aceh.

Dalam konteks pengendalian dan penguasaan rakyat tentunya hal ini sangat bijak tetapi dampak negatifnya adalah penundukan masyarakat biasa ini telah melemahkan mentalitasnya dalam waktu yang panjang, sehingga masyarakat Aceh pada masa rezim orde lama dan orde baru dalam negara NKRI begitu lemah posisi tawarnya bahkan jarang sekali mereka menggubris hak-haknya sebagai warga negara. Bahkan ketika terjadi konflik hak kewarganegaraan masyarakat Aceh dalam negara Indonesia menjadi warga Kelas Tiga dengan KTP merah putihnya yang berbeda dengan warga negara Indonesia lainnya.

Sepanjang sejarah bernegara kehidupan warga Aceh memang lebih banyak dalam kondisi terjajah sehingga masyarakat sulit memahami demokrasi yang didalamnya adalah segala hak dan kesetaraan hidup, hak menyatakan pendapat, hak memperoleh kemerdekaan sebagai warga negara dan hak memperoleh kedaulatannya sebagai rakyat diatas elemen pemerintah sekalipun oleh demokrasi mengatur pemerintah itu sebagai lembaga pelayan rakyat.

Sejak reformasi memang mulai terbuka pintu mempertanyakan hak warga dan dimulai adanya posisi tawar warga terhadap negara. Namun untuk pemerataan kepahaman warga negara terhadap hak dan kewajiban yang menyeluruh dan manfaat perubahan diperlukan pemahaman demokrasi yang baik bagi warga negara.

Penolakan terhadap demokrasi pada masyarakat negara tertinggal dan daerah tertinggal itu disebabkan salah pemahaman dari para politisi dan pimpinan daerahnya sehingga nyaris seluruh warga tidak menggubris pentingnya demokrasi dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apalagi di daerah kita yang telah meracuni masyarakat bahwa demokrasi itu miliknya bangsa barat, miliknya Amerika, padahal nilai-nilai demokrasi sudah diterapkan sejak kepemimpinan Rasulullah, hanya saja masa itu ilmu politik dan bernegara belum dilembagakan sebagaimana sekarang dan ruh-ruh sportifitas dalam pemilihan pemimpin rakyat masih terbatas akibat sedikitnya orang yang bersedia menjadi pemimpin tidak sebagaimana kita lihat saat ini.

Demikian pula keadilan dalam memimpin tidak menjadi tuntutan karena kepemimpinan dimasa lalu lebih kepada kekuasaan atas tanah dan fasilitas yang kemudian menjadikan masyarakat untuk patuh pada kekuasaan raja karena kebutuhan. Disamping itu dimasa lalu manusia masih dalam hirarkhi hukum rimba sehingga seorang penguasa bisa mendeklarasikan dirinya sebagai raja berbekal kesaktiannya. Dalam kehidupan kerajaan itu pejabat ditunjuk karena kekuasaan yang absolut, sebagaimana negara Inggris yang memiliki tanah atas nama kerajaan dan rakyat dalam kekuasaan kerajaan, meski sekarang mereka menerapkan demokrasi tentunya dalam batasan yang tidak menyentuh kuasa kerajaan.

Oleh karena itu jika masyarakat disuatu negara dan daerah yang ingin berubah sedangkan mereka menolak dan menjauhkan demokrasi maka tidak berbeda dengan mereka menutup pintu perubahan itu sendiri. Karena kepemimpinan demokrasi maka masyarakat memiliki hak atas kemerdekaannya. Tapi ketika pemimpin negara otoriter yang anti demokrasi maka ketika masyarakat menuntut keadilan dapat saja dijawab dengan DOM sebagaimana di Aceh pada masa Orba. Sedangkan ketika pemimpin pemerintahan yang menaganut Demokrasi ketika rakyat Aceh menuntut haknya maka dijawab dengan MOU Helsinki atau musyawarah dan kesepakatan yang fair.

Penulis adalah Pencetus Ideology GRAM dalam politik di Aceh dan Pemimpin Politik Muda Indonesia-Amerika tahun 2013.
Bagikan:
KOMENTAR